topbella

Minggu, 24 November 2013

ANALISA PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Perkembangan Bahasa Indonesia Secara Kronologis
Perkembangan Bahasa merupakan suatu peristiwa bersejarah. Perkembangan bahasa adalah akibat atau hasil yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan pengembangan. Pada umumnya perkembangan bahasa tersebut diwujudkan dengan perubahan-perubahan bahasa itu. Dalam modul ini akan diperbincangkan perkembangan bahasa Indonesia sejak terbentuknya hingga sekarang serta perkembangan penyerapan kata dan istilah asing dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
 Anda tentu sudah mengetahui bahwa bahasa Indonesia yang kita pakai sekarang ini berasal dari bahasa Melayu. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan bahasa Melayu di dalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi sebagai bahasa penghubung (lingua franca). Dari waktu ke waktu terjadilah perubahan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang pada akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat. Beratus-ratus tahun bahasa Melayu, sebagai dasar bahasa Indonesia, berfungsi sebagai lingua franca di Nusantara. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan bahasa Melayu didalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi sebagai bahasa penghubung (lingua franca).
Dari waktu ke waktu terjadilah perubahan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang pada akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat. Oleh sebab itu, pada saat bangsa kita memerlukan sebuah bahasa nasional yang dapat dijadikan alat komunikasi secara nasional, penunjukan bahasa Melayu disetujui secara aklamasi. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minangkabau, atau bahasa Batak yang jumlah pendukungnya jauh lebih besar daripada jumlah pendukung bahasa Melayu, dengan rela dan senang hati menerima putusan itu. Maka, pada tanggal 28 Oktober 1928 dicetuskanlah kedudukan bahasa Indonesia itu dalam suatu ikrar pemuda Indonesia yamg kita kenal dengan “Sumpah Pemuda” pada butir ketiga.
Secara lengkap dan ejaan yang asli butir-butir “Sumpah Pemuda” itu dapat Anda simak berikut ini.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
   Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa  
   Indonesia.
 Butir ketiga dalam Sumpah Pemuda itu menjadi ketukan palu berubahnya bahasa Indonesia sebagai lingua franca kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Perkembangan bahasa Melayu yang berubah menjadi bahasa Indonesia didasarkan pada segi politik  dan ekonomi. Bahasa yang dapat diangkat menjadi bahasa nasional adalah bahasa yang berfungsi di dalam dunia politik dan ekonomi. Bahkan, ketentuan itu dikuatkan lagi oleh kemampuan bahasa tersebut mengungkapkan nilai-nilai budaya dan sastra. Hal itu terlihat pada lahirnya berbagai karya sastra jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, seperti novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, dan novel Azab dan Sengsara (1918) karya Merari Siregar. Bahasa itu pula yang dipakai oleh Balai Pustaka sebagai satu-satunya penerbit pemerintah di Indonesia pada awal abad XX ini.

 PERKEMBANGAN EJAAN
Secara lengkap dapat dikatakan bahwa “ejaan” adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan di antara lambang-lambang itu (pemisah dan penggabungan dalam suatu bahasa). Secara teknis, ejaan adalah aturan tulis-menulis dalam suatu bahasa yang berhubungan dengan penulisan huruf, pemakaian huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, serta penulisan dan pemakaian tanda baca.
Pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut; Apakah bahasa Indonesia sudah memiliki aksara sebelum diresmikan menjadi bahasa persatuan? Jawabnya adalah bahwa bahasa Melayu sudah memiliki aksara sejak beratus tahun yang lalu, yaitu aksara Arab-Melayu.
         
Aksara Arab-Melayu dipakai secara umum di daerah Melayu dan daerah-daerah yang telah menggunakan bahasa Melayu. Akan tetapi, terjadi kontak budaya dengan dunia Barat, sebagai akibat kedatangan orang Barat dalam menjajah di daerah Melayu itu, di sekolah-sekolah Melayu sudah digunakan aksara Latin yang penggunaannya tidak terpimpin.
Oleh sebab itu, Ch. A. Van Ophuijsen (seorang ahli bahasa dari Belanda) dibantu oleh dua orang pakar dari Melayu, yaitu Engkoe Nawawi gelar Soetan Ma’moer, dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, menggabungkan dasar-dasar ejaan Latin dan ejaan Belanda, sehingga berhasil membuat ejaan bahasa Melayu, yang ejaan tersebut lazim disebut sebagai Ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan pemakaiannya pada tahun 1901.
Pada tahun 1926, menjelang Sumpah Pemuda, ejaan Van Ophuijsen mengalami revisi dengan tanpa perubahan yang berarti. Pada tahun 1947 muncullah ejaan yang baru sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dr. Soewandi, pada tanggal 19 Maret 1947 yang disebut sebagai Ejaan Republik. Oleh karena Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan adalah Dr. Soewandi, ejaan yang diresmikan itu disebut juga Ejaan Soewandi. Memang peresmian ejaan tersebut dilakukan pada tahun 1947, tetapi pekerjaan penyusunan ejaan tersebut sudah disempurnakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia.
Hal-hal yang menonjol dalam Ejaan Soewandi itu adalah sebagai berikut:
Huruf /oe/ diganti dengan /u/, seperti dalam kata berikut;
goeroe                            guru
itoe                                 itu
oemoer                           umur
2.   Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan /k/, seperti dalam kata berikut;
tida’                                tidak
Pa’                                  Pak
ma’lum                            maklum
ra’yat                             rakyat
3.   Angka dua (2) boleh dipakai untuk menyatakan pengulangan, seperti kata berikut;
beramai-ramai                 be-ramai2
anak-anak                       anak2
berlari-larian                    ber-lari2-an
berjalan-jalan                  ber-jalan2
4.   Awalan di- dan kata depan di, kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seprti kata berikut;
diluar, dikebun, ditulis, ditempuh
diantara, disimpan, dipimpin, dipinggir,
dimuka,ditimpa, disini, dijemput.
5.   Tanda trema tidak dipakai lagi sehingga tidak ada perbedaan antara suku kata dan diftong, seperti kata berikut.
didjoempai                      didjumpai
dihargai                          dihargai
moelai                             mulai
6.   Tanda aksen pada huruf e tidak dipakai lagi, seperti pada kata berikut.
ekor                                ekor
heran                              heran
merah                             merah
berbeda                          berbeda
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slamet Mulyana dan Syeh Nasir bin Ismail, masing-masing berperanan sebagai ketua perutusan) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Ejaan Melindo tidak pernah diresmikan  karena politik yang terjadi pada kedua negara itu tidak memungkinkan untuk meresmikan ejaan tersebut. Berbagai perencanaan yang dilakukan  dalam ejaan Melindo berkisar pada penyamaan lambang ujaran antara kedua negara dan perlambangan setiap bunyi ujaran untuk satu lambang. Oleh sebab itu, muncullah beberbagai gagasan yang sebagaian gagasan tersebut dituangkan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Pada tanggal 16 agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang lazim disingkat dalam istilah EYD. Peresmian ejaan tersebut berdasarkan keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972. Dengan dasar itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang memuat berbagai patokan pemakaian ejaan yang baru. Buku yang beredar yang memuat kaidah-kaidah ejaan tersebut direvisi dan dilengkapi oleh suatu badan yang berada di bawah departemen Pendidikan Kebudayaan yang diketuai olaeh Prof. Dr. Amran Halim dengan dasar surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober1972, Nomor 156/P/1972. Hasil kerja komisi tersebut adalah berupa sebuah buku yang berjudul Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang diberlakukan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0196/1975. Bersama buku tersebut lahir pula sebuah buku yang berfungsi sebagai pendukung buku yang pertama, yaitu buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu adalah sebagai berikut :
1. Huruf yang berubah fungsi adalah sebagai berikut ;
    a. /dj/ djalan menjadi /j/ jalan
    b. /j/ pajung menjadi /y/ payung
    c. /nj/ njanji menjadi /y/ nyanyi
    d. /sj/ isjarat menjadi /sy/ syarat
    e. /tj/ tjukup menjadi /c/ cukup
    f. /ch/ achir menjadi /kh/ akhir
2. Huruf yang resmi pemakaiannya yang dalam ejaan sebelumnya belum resmi
     pemakaiannya seperti berikut ;
      a. pemakaian huruf /f/ dalam kata maaf, fakir
      b. pemakaian heruf /v/ dalam kata universitas, valuta
      c. pemakaian huruf /z/ dalam kata lezat, zeni
 3. Huruf yang hanya dipakai dalam ilmu eksakta, yaitu sebagai berikut ;
     a. pemakaian huruf /q/ dalam rumus a:b = p:q
     b. pemakaian huruf /x/ dalam istilah Sinar-X
4. Penulisan di- awalan dan penulisan di kata depan seperti berikut ;
    a. penulisan awalan pada kata ditulis, dimakan, dijumpai
    b. penulisan kata depan pada kata di muka, di pojok, di antara
5. Bentuk ulang yang tidak ditulis dengan angka dua (2) seperti berikut ;
    Berpandang-pandangan, berlari-lari, rumah-rumah.

BALAI PUSTAKA
Balai Pustaka (Ejaan Van Ophuijsen: Balai Poestaka, bahasa Jawa ejaan lama: Balé Poestaka) adalah sebuah perusahaan penerbitan danpercetakan milik negara. Balai Pustaka didirikan dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (bahasa Belanda: "Komisi untuk Bacaan Rakyat") oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 14 September 1908. Commissie voor de Volkslectuur kemudian berubah menjadi "Balai Poestaka" pada tanggal 22 September 1917. Balai Pustaka menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputi kamus, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.
Menurut Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, Balai Pustaka kini terancam bangkrut dan akan dilikuidasi karena terus mengalami kerugian.
Kios Balai Poestaka di Purwokerto pada masa Hindia-Belanda
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia-Belanda. Bahasa-bahasa ini adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura.
Ada visi alternatif yang menyebutkan bahwa pendiriannya kala itu konon untuk mengantisipasi tingginya gejolak perjuangan bangsa Indonesia yang hanya bisa disalurkan lewat karya-karya tulisan. Berbagai tulisan masyarakat anti-Belanda bermunculan di koran-koran daerah skala kecil, sehingga perusahaan penerbitan ini lalu didirikan Belanda dengan tujuan utama untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan menyalurkan nya secara lebih manusiawi sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda di Indonesia.
Tujuan lain yang dilakukan oleh Komisi Bacaan Rakyat (KBR) yaitu menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini juga bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.
Tidak semua usaha yang dilakukan oleh (BKR) negatif. usaha usaha yang positif antara lain: mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur, memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam bahasa Sunda.
Langkah maju yang dilakukan KBR, yang telah berhasil sebagai pencetak, penerbit, dan penjual majalah, adalah mengubah KBR menjadi Yayasan Resmi Balai Pustaka pada tahun 1917.
Buku Balé Poestaka (Supraba lan Suminten, 1923)
Salah satu novel dalam bahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul Siti Noerbaja karangan Marah Roesli, seorang penulis dari Minangkabau.
Di era itu juga menjadi penanda penyebaran sastra Jawa Modern. Jumlah buku berbahasa Jawa lebih banyak dibandingkan yang berbahasa Melayu. Dari penelusuran George Quinn, pada katalog Balai Pustaka di 1920, ada 40 buku berbahasa Madura, 80 judul berbahasa Melayu, hampir 100 buku berbahasa Sunda, dan hampir 200 berbahasa Jawa. Pada tahun ini pula lahir novel Serat Rijantokarangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa modern.

TAMAN BACAAN MASYARAKAT
Yogyakarta (30/08) Taman Bacaan Masyarakat (TBM) adalah lembaga pembudayaan kegemaran membaca masyarakat yang menyediakan bahan bacaan, berupa: buku, majalah, tabloid, koran, komik, dan bahan multi media lain, yang dilengkapi dengan adanya ruangan untuk membaca, diskusi, bedah buku, menulis, dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya, dan didukung oleh pengelola yang berperan sebagai motivator.
Penyelenggaraan TBM dimaksudkan untuk menyediakan bahan bacaan dalam rangka untuk membantu dan memberikan layanan kepada masyarakat sesuai dengan (1) kebutuhan, (2) kemampuan keaksaraan, dan (3) keterampilan membaca masyarakat merata, meluas, terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat dengan murah. Adapun tujuannya adalah:
menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca masyarakat,
mendukung pembudayaan kegemaran membaca,
mendorong terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
mewujudkan kualitas dan kemandirian masyarakat yang berpengetahuan, berketerampilan, berbudaya maju, dan beradab.
Fungsi yang melekat pada TBM adalah sebagai; (1) sumber belajar, (2) sumber informasi, dan (3) sarana rekreasi-edukasi. Sebagai Sumber Belajar, TBM dengan bahan bacaan yang disediakan dapat memberikan layanan kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas membaca dan belajar dalam rangka mendukung terciptanya masyarakat pembelajar sepanjang hayat, seperti: buku pengetahuan untuk membuka wawasan dan menambah pengetahuan, buku keterampilan, untuk memperoleh berbagai keterampilan praktis yang bisa dipraktekkan setelah membaca misal praktek memasak, budidaya ikan, menanam cabe dan lainnya.
Sebagai sumber informasi, dalam menyediakan bahan bacaan, selain buku-buku TBM juga menyediakan koran, tabloid, dan referensi, seperti brosur, leaflet yang semuanya ini dapat memberikan informasi. Disamping itu dengan peralatan elektroniknya TBM dapat juga menyediakan internet yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengakses informasi melalui dunia maya.
Sebagai tempat rekreasi-edukasi, dengan buku-buku nonfiksi yang disediakan memberikan hiburan yang mendidik dan menyenangkan. Lebih jauh dari itu, TBM dengan bahan bacaan yang disediakan mampu membawa masyarakat lebih dewasa dalam berperilaku, bergaul di masyarakat lingkugan.
Dari pengertian TBM disebutkan bahwa pengelola TBM berperan sebagai motivator, artinya pengelola TBM diharapkan mampu mendorong masyarakat dan khususnya pengunjung untuk mau dan mampu meningkatkan keterampilan membaca dengan kreativitasnya memberikan layanan. Layanan yang dapat diberikan TBM adalah:
Membaca ditempat, agar pengunjung mau dan gemar membaca di TBM maka bahan bacaan yang disediakan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung. Dengan menemukenali minat dan karakteristik pengunjung dapat menentukan bahan bacaan yang tepat.
Meminjamkan buku, artinya buku dapat dibawa pulang untuk dibaca dirumah dalam waktu tertentu dan peminjam wajib mengembalikan tepat waktu.
Pembelajaran, dengan menggunakan berbagai pendekatan, misalnya:
membacakan buku dan/atau mendongeng untuk anak usia dini,membimbing belajar membaca, menulis, berhitung, dan berkomunikasi,belajar sambil praktek keterampilan atau melaksanakan kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat,membimbing teknik membaca cepat (scanning dan skimming),
menemukan kalimat dan kata kunci dari bacaan,lomba menceriterakan kembali buku yang telah dibaca, membedahnya dan mengenal bagaimana memproduksi buku, bagaimana menjadi pembaca dan penulis kreatif.

EJAAN SOEWANDI DAN EYD.
Dari Ejaan van Ophuijsen Hingga EYD
1. Ejaan van Ophuijsen
Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut.
a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
c. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.
2. Ejaan Soewandi
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.
a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
3. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972)
Malaysia
(pra-1972)
Sejak 1972
Tj
ch
C
Dj
J
J
Ch
kh
Kh
Nj
ny
Ny
Sj
sh
Sy
J
Y
Y
oe*
U
U





Analisa ragam budaya

Keanekaragaman budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke merupakan aset yang tidak ternilai harganya, sehingga harus tetap dipertahankan dan terus dilestarikan.
Budaya merupakan suatu kebiasaan yang mengandung nilai – nilai penting dan fundamental yang diwariskan dari generasi ke generasi. Warisan tersebut harus dijaga agar tidak luntur atau hilang sehingga dapat dipelajari dan dilestarikan oleh generasi berikutnya
keanekaragaman tersebut terdiri dari :
·      Ragam lisan
Ragam lisan adalah ragam bahasa yang diungkapkan dengan sarana lisan yang ditandai oleh pengulangan intonasi, spontanitas sehingga criteria kejelasan ketepatan dan kelugasan terpenuhi oleh si penutur. Ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang dan waktu, sedangkan ragam tulis tidak terikat. Ragam lisan dipengaruhi oleh panjang pendek dan tinggi rendah suara sedangkan ragam tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf capital, huruf miring dll.

Ragam bahasa lisan meliputi :
a.   Ragam bahasa cakapan adalah ragam bahasa yang dipakai apabila pembicara menganggap kawan bicara sebagai sesama, lebih muda, lebih rendah statusnya atau apabila topik pembicara bersifat tidak resmi.
b.   Ragam bahasa pidato adalah ragam bahasa yang digunakan saat membacakan pidato dimuka umum.Biasanya pidato berisi penegasan kalimat untuk bias diterima si pendengar.
c.   Ragam bahasa kuliah adalah ragam bahasa yang digunakan pada saat kuliah yaitu pada saat pembelajaran antar mahasiswa dan dosennya.
d.    Ragam bahasa panggung adalah ragam bahasa yang digunakan seseorang saat dpanggung ketika mengsi acara hiburan lain agar bias diterima penonton.

 Ciri – ciri ragam bahasa lisan :
a.   Memerlukan kehadiran orang lain
b.   Unsur gramatikal tidak dinyatakan secara lengkap
c.   Terikat ruang dan waktu
d.   Dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara

Kelebihan ragam bahasa lisan :
a.    Dapat disesuaikan dengan situasi
b.    Faktor efisiensi
c.    Faktor kejelasan karena pembicara menambahkan unsure lain berupa  tekan dan gerak anggota badan agah pendengar mengerti apa yang dikatakan seperti situasi, mimik dan gerak-gerak pembicara.
d. Faktor kecepatan, pembicara segera melihat reaksi pendengar terhadap apa yang dibicarakannya.
e.  Lebih bebas bentuknya karena faktor situasi yang memperjelas pengertian bahasa yang dituturkan oleh penutur
f.    Penggunaan bahasa lisan bisa berdasarkan pengetahuan dan penafsiran dari informasi audit, visual dan kognitif

Kekurangan ragam bahasa lisan :
a.  Bahasa lisan berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, bahkan terdapat frase-frase sederhana.
b. Penutur sering mengulangi beberapa kalimat
c. Tidak semua orang bisa melakukan bahasa lisan
d. Aturan-aturan bahasa yang dilakukan tidak formal

·      Ragam tulisan
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.
Contoh dari ragam bahasa tulis adalah surat, karya ilmiah, surat kabar, dll. Dalam ragam bahsa tulis perlu memperhatikan ejaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Terutama dalam pembuatan karya-karya ilmiah.
Ciri Ragam Bahasa Tulis :
1.      Tidak memerlukan kehadiran orang lain.
2.      Tidak terikat ruang dan waktu
3.      Kosa kata yang digunakan dipilih secara cermat
4.      Pembentukan kata dilakukan secara sempurna,
5.      Kalimat dibentuk dengan struktur yang lengkap, dan
6.       Paragraf dikembangkan secara lengkap dan padu.
7.       Berlangsung lambat
8.       Memerlukan alat bantu

Kelebihan ragam bahasa tulis :
a.    Informasi yang disajikan bisa dipilih untuk dikemas sebagai media atau materi yang menarik dan menyenangkan.
b.    Umumnya memiliki kedekatan budaya dengan kehidupan masyarakat.
c.    Sebagai sarana memperkaya kosakata.
d.    Dapat digunakan untuk menyampaikan maksud, membeberkan informasi atau mengungkap unsur-unsur emosi sehingga mampu mencanggihkan wawasan pembaca.

Kelemahan ragam bahasa tulis :
a.    Alat atau sarana yang memperjelas pengertian seperti bahasa lisan itu tidak ada akibatnya bahasa tulisan harus disusun lebih sempurna.
b.    Tidak mampu menyajikan berita secara lugas, jernih dan jujur, jika harus mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang dianggap cenderung miskin daya pikat dan nilai jual.
c.    Yang tidak ada dalam bahasa tulisan tidak dapat diperjelas/ditolong, oleh karena itu dalam bahasa tulisan diperlukan keseksamaan yang lebih besar.

·      Ragam sosial dan ragam fungsional
Ragam Sosial, yaitu ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya berdasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan social yang lebih kecil dalam masyarakat.
Ragam Fungsional, yaitu ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya. Ragam fungsional juga dikaitkan dengan keresmian keadaan penggunaannya. Ragam fungsional ada tiga macam, yaitu:
1. Ragam Bahasa Bisnis: ragam bahasa yang digunakan dalam berbisnis yang biasa digunakan oleh para pebisnis dalam menjalankan bisnisnya.
2. Ragam Bahasa Hukum: penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia hukum, dimana fungsinya mempunyai karateristik tersendiri.
3. Ragam Bahasa Sastra: ragam bahasa yang banyak menggunakan kalimat tidak efektif.

·      ragam jurnalis
Pada umumnya kita semua pasti sudah mendengar kata-kata jurnalis itu sendiri. Bahasa Jurnalis adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Disebut juga sebagai Bahasa Komunikasi Massa (Language of Mass Communication, atau disebut pula dengan Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik seperti radio dan TV, maupun komunikasi tertulis seperti media cetak. Dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.

Namun seperti yang kita lihat saat ini, masih ada sebagian orang yang memandang negatif terhadap bahasa yang digunakan oleh kaum jurnalis tersebut.Hal tersebut dikarenakan bahwa, bahasa jurnalis terlanjur dianggap sebagai perusak dari bahasa Indonesia dan dianggap sebagai bahasa yang tidak pantas untuk digunakan. Padahal bahasa yang digunakan oleh para wartawan itupun adalah bahasa Indonesia yang tetap bersandarkan pada bahasa baku.

Ragam bahasa jurnalis itupun memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang dapat membedakan ragam bahasa jurnalis dengan ragam bahasa yang lain. Dan bahasa jurnalis yang baik itu haruslah sesuai dengan norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan-susunan kalimat yang benar dan pemilihan kata yang tepat. Bahkan laras bahasa jurnalis itupun termasuk dalam laras bahasa baku.

Yang membedakan bahasa jurnalis dengan bahasa Indonesia itu hanyalah terdapat pada penggunaannya saja. Karena bahasa jurnalis itu digunakan sebagai bahasa dalam penyampai informasi. Sehingga memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan bahasa lain. Ciri khas dari bahasa jurnalis itu yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas dan menarik. Serta ditandai dengan penghemataan kata-kata atau pemendekan kalimat. Tergantung dengan jenis tulisan apa yang akan diberitakan.

Jadi, ciri utama dari bahasa jurnalis ini secara umum diantaranya yaitu menggunakan bahasa yang sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populer, logis, gramatikal, mengutamakan kalimat aktif, menghindari kata atau istilah teknis, dan menghindari istilah asing. Serta, bahasa jurnalis ini tunduk pada kaidah dan etika bahasa baku dalam bahasa Indonesia.

Adapun ciri khas dari bahasa jurnalis itu sendiri biasa disebut dengan gaya selingkung. Gaya selingkung merupakan gaya bahasa yang ditentukan redaksi sebagai salah satu ciri khas dan karakteristik dari bahasa jurnalis itu sendiri. Dan secara garis besar bahasa jurnalis itu memiliki dua ciri khas yaitu komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menuju pada materi yang ingin dibahas atau langsung ke pokok persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi. Dan spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek, memiliki kata-kata yang jelas, dan mudah dimengerti orang awam.

Dan untuk karakteristik bahasa jurnalis ini dipengaruhi oleh banyak hal yang tekait dengan penentuan yang berkenaan dengan permasalahan apa yang akan dibicarakan, jenis tulisan, pembagian tulisan, dan sumber/bahan tulisan. Namun, bahasa jurnalis tidak boleh bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosa kata, struktur, sintaksis, dan wacana.

Dan menurut Jus Badudu sendiri (1992:62), bahasa jurnalis itu harus sederhana, mudah dipahami, teratur, dan efektif. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami itu sendiri berarti bahwa bahasa jurnalis itu harus menggunakan kata dan struktur kalimat yang memang mudah dimengerti oleh para pembaca nantunya. Untuk bahasanya yang teratur itu berarti setiap kata dalam kalimat yang digunakan tersebut harus ditempatkan sesuai dengan kaidahnya masing-masing. Sedangkan untuk bahasanya yang efektif itu berarti bahasanya tidak boleh berbelit-belit, tetapi tidak boleh juga terlalu hemat dalam penggunaan kata dan kalimat. Karena hal tersebut akan menimbulkan makna dalam kalimat tersebut menjadi tidak jelas.

Contoh : Korupsi di Indonesia merupakan suatu yang lumrah dan bahkan menjadi tradisi, terutama bagi para pejabat pemerintah. Salah satu indikasinya adalah lemahnya sistem penegak hukum di Indonesia yang sampai saat ini belum bisa menuntaskan tindak pidana korupsi secara maksimal. Oleh karena itu, masyarakat kecil di Indonesia dan di pedesaan pada khususnya menjadi terlantar karena sibuknya pemerintah dalam menuntaskan korupsi yang tak kunjung selesai sampai saat ini. Di Indonesia sendiri bahkan menjadi rangking terkorup nomer ke 3 di dunia. Sehingga seharusnya para penjahat korupsi harus dihukum berat seperti yang dilakukan oleh negara Cina. Aparat pemerintah disana mengambil keputusan berat terhadap para penjahat korupsi dengan menghukum mati. Berbeda dengan Indonesia yang memberi hukuman ringan dan fasilitas-fasilitas mewah terhadap para penjahat korupsi.  Kasus koruspi di Indonesia semakin merajalela, yang kaya menjadi tambah kaya dan yang miskin menjadi tambah miskin. Seharusnya pemerintah harus memberi hukuman yang berat dan tegas terhadap para pelaku yang terindikasi korupsi.

·      Ragam bahasa yang baik dan benar
Bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya. Agar banyaknya variasi tidak mengurangi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang efisien, dalam bahasa timbul mekanisme untuk memilih variasi tertentu yang cocok untuk keperluan tertentu yang disebut ragam standar (Subarianto, 2000). Bahasa Indonesia memang banyak ragamnya. Hal Ini karena bahasa Indonesia sangat luas pemakaiannya dan bermacam-macam ragam penuturnya. Oleh karena itu, penutur harus mampu memilih ragam bahasa yang sesuai dengan dengan keperluannya, apapun latar belakangnya.

Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam/Keragaman Bahasa :
1.      Ragam bahasa pada bidang tertentu, seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik,dsb.
2.      Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek, seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.
3.      Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek, seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.
4.      Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial, seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.
5.      Ragam bahasa pada bentuk bahasa, seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.

6.      Ragam bahasa pada suatu situasi. seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal (tidak baku).
Artikel tentang Keluarga Sebagai Lingkungan Pendidikan

Keluarga merupakan suatu lembaga atau unit sosial terkecil di masyarakat yang terbentuk melalui perkawinan yang sah biasanya terdiri atas ayah, ibu dan anak yang hidup disuatu tempat.

Konsep Keluarga
Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang paling esensial dalam sejarah perjalanan hidup anak manusia. Sekaligus ia juga membuat mozaik khilafah yang membutuhkan bingkai ajaran sebagai pelindung dan penghias lukisan kehidupan yang memberikan kenyamanan dan keteduhan kalbu. Tentunya lukisan kehidupan keluarga yang begitu indah ini tidak lepas dari spektrum dasar, yaitu sakinah, mawadah, dan warrohmah.
Baitii jannatii, rumahku adalah taman surgaku. Sebuah ungkapan paling tepat tentang bangunan keluarga ideal, karena keluarga merupakan sumber pertama dan utama bagi kehidupan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Keluarga sebagai sumber pertama dan utama memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik anak dalam kehidupannya. Selain itu, keluarga bagi anak merupakan suatu tempat yang paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan oleh anak yang tengah mencari makna kehidupan.
Keluarga juga mempunyai makna sebagai suatu lembaga atau unit sosial terkecil dimasyarakat yang terbentuk melalui perkawinan yang sah dan biasanya terdiri atas ayah, ibu dan anak yang hidup bersama di suatu tempat. Sehingga perlu diingat, bahwa keluarga merupakan suatu sistem yang terdiri atas elemen-elemen yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya dan memiliki hubungan yang kuat.
Keberhasilan pendidikan anak dalam keluarga ketika anak berada dalam usia dini, akan sangat berpengaruh pada keberhasilan pendidikan pada periode berikutnya.
Jadi betapa pentingnya pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga. Perhatian mengenai pendidikan keluarga tidak hanya ditujukan oleh anggota-angota keluarga yang bersangkutan, melainkan oleh segenap lapisan masyarakat. Hal ini mengisayaratkan betapa keluarga itu merupakan bagian dalam kehidupan bermasyarakat.

Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga adalah bertanggung jawab dalam rangka menjaga dan menumbuhkembangkan anggota-anggotanya. Dalam hal ini keluarga berfungsi untuk membekali setiap anggota keluarganya agar dapat hidup sesuai dengan tuntutan nilai-nilai religius pribadi dan lingkungan. Demi perkembangan dan pendidikan anak, keluarga harus melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik dan seimbang.
Peranan orang tua dalam melaksanakan fungsi-fungsi keluarga harus disertai dengan penampilan serta tindakan-tindakan yang telah disesuaikan dengan berbagai situasi.
Berdasarkan pendekatan budaya, keluarga sekurang-kurangnya harus mempunyai 7 fungsi yaitu :
1.Fungsi Biologis
-Fungsi ini diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana menyalurkan kebutuhan reproduksi sehat bagi semua anggota keluarganya, sehingga melahirkan generasi yang lebih baik di masa yang akan datang. Keluarga disini juga berfungsi sebagai tampat untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan akan keterlindungan fisik seperti kesehatan, sandang, pangan dan papan.
2.Fungsi Edukatif
-Keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi anak. Pendidikan merupakan tanggungjawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figur sentral dalam pendidikan. Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orang tua untuk mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan.
3.Fungsi Religius
-Fungsi religius berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak-anak serta anggota keluarga lainnya mengenai kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Fungsi ini mengharuskan orang tua sebagai seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.
4.Fungsi Protektif (perlindungan)
-Fungsi protektif dalam keluarga ialah untuk menjaga dan memelihara anak serta anggota lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga. Fungsi ini pun adalah untuk menangkal pengaruh kehidupan yang sesat sekarang dan pada masa yang akan datang.
5.Fungsi Sosialisasi Anak
 -Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma sosial sehingga kehidupan disekitarnya dapat dimengerti oleh anak.
6.Fungsi Rekreatif
 -Fungsi ini tidak harus selalu dalam membentuk kemewahan ataupun pesta pora melainkan melalui penciptaan suasana kehidupan yang tenang dan harmonis di dalam keluarga. Keadaan ini dapat dibangun melalui kerjasama diantara anggota keluarga yang diwarnai oleh hubungan insani yang didasari oleh adanya saling mempercayai, saling menghormati dan saling mengerti.
7.Fungsi Ekonomis
-Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Aktifitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha dan perencanaan anggaran pengeluaran biaya keluarga.


Karya ilmiah 

Karya ilmiah merupakan karya tulis yang isinya berusaha memaparkan suatu pembahasan secara ilmiah yang dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti. Untuk memberitahukan sesuatu hal secaralogis dan sistematis kepada para pembaca. Karyailmiah biasanya ditulis untuk mencari jawaban mengenai sesuatu hal dan untuk membuktikan kebenaran tentang sesuatu yang terdapat dalam objek tulisan.

Karya ilmiah tentang Anarkisme Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
Apa yang benar-benar terjadi pada masyarakat juga sama benarnya dengan apa yang terjadi pada sekolah-sekolah. Makna istilah “pendidikan” itu sendiri makin lama makin controversial. Lebih banyak dan makin banyak lagi kegiatan-kegiatan tentang pendidikan yang telah teruji waktu kini dikaji ulang dan dipertimbangkan kembali, akibatnya perdebatan terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar dalam pendidikan kini tidak lagi menjadi hal yang tersisih dipinggiran, yang jarang dipakai dipertimbangkan. Ia kini memiliki status sebagai prioritas, sebagaimana mustinya sejak awal, yakni di jantung kurikulum pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN
Anarkisme Dan Tradisi Liberal
Kaum anarkis akan berbeda pandangan dari kaum liberal lainnya (liberalis dan liberasionis) dalam dua hal mendasar :
(+) Bagi kaum anarkis, individu adalah secara deskriptif berada di bawah masyarakat (dalam arti psikologis atau developmental) karena individu ditentukan, pada intinya, oleh kenggotaan sosialnya. Disisi lain, individu secara preskriptif lebih tinggi kedudukannya (superior) ketimbang dalam masyarakat (dalam arti filosofis murni), dan ia menjadi benar-benar manusia serta mencapai perwujudan diri ketika ia melampaui perintah-perintah atau keharusan-keharusan (imperative) masyarakat terorganisir itu secara menyeluruh.
Dengan kata lain, bagi kaum anarkis, kenyataan bahwa masyarakat terorganisir belakangan lebih diutamakan ketimbang ungkapan-ungkapan diri individual adalah tepat dalam kenyataan, namun tetap saja situasi itu pantas diselesaikan, lantaran secara objektif individu mampu memantulkan perilaku moral secara langsung tampa dipaksakan, dan perilaku semacam itu tidak butuh kekangan atau kontrol sosial dari luar.
Sebagaimana para anarkisme melihatnya, manusia secara ilmiah bersifat sosial, secara alamiah ia memerlukan orang lain dan ia secara aktif cenderung bekerja sama dengan orang-orang lain itu dalam cara rasional dan konstruktif, di atas landasan yang murni bersifat sukarela. Kesulitannya mucul terutama dari kenyataan bahwa masyarakat tak terceraikan lagi, diidentifikasikan dengan lembaga-lembaga serta proses-proses politik, yang secara otomatis memerosotkan kedudukan individu menjadi sekedar sebuah fungsi dari kelompok. Maka, makin lama individu makin lama terlembagakan. Otomi personalnya sudah dirampas darinya, dan ia telah dikekang secara langsung, lewat kekuasaan pemaksa, secara tidak langsung lewat pembelajaran (sosialisasi) upaya ini mematuhi aturan-aturan dari luar dirinya dan taat kepada kendali-kendali yang dipegang oleh agen-agen politik pra-kemapanan. Kendali-kendali itu nyatanya berfungsi untuk  menjadikan indifidu makin berkurang bertanggung jawab (dan lebih pasif), makin kurang rasional (dan lebih reaktif), serta makin kurang sosial (dan lebih patuh).
(+) Masyarakat (dan kebudayaan) sama-sama diperlakukan dan baik. Namun negara, yang mencaplok dan membawakan individu pada organisasi-organisasi pra-penentu serta lembaga-lembaga yang berfungsi untuk  melestarikan sebuah corak perilaku tertentu melalui jangka waktu tak terbatas, sustinya tidak disamakan dengan masyarakat.
Negara bisa dihapus, bisa dibuang, pada umumnya ‘obat-obat’ otoritarian yang ditawarkannya untuk  ‘menyembuhkan’ kekacauan malah cenderung untuk  menciptakan penyakit-penyakit yang menjalar diantara rakyat, yang lebih para jika dibandingkan dengan kekacauan-kekacauan yang mereka rancang untuk  dikoreksi atau dibetulkan itu. Dalam upayanya untuk  membelajarkan manusia, negara malah menjadikan manusia yang tak manusiawi, dengan cara melucuti kemampuan serta kecendrungan untuk  berfikir serta bertindak bagi dirinya sendiri.
Pendidikan versus persekolahan
Bagi kaum anarkis, pendidikan yang dipandang sebagai sebuah proses yang harus ada untuk  belajar melalui pengalaman sosial alamiah manusia sendiri jangan sampai dicakaukan dengan persekolahan, yang hanyalah sebuah corak pendidikan dan yang hanya merupakan kaki tangan negara otoriter. Dengan merosotkan tanggung jawab personal, negara dan persekolahan membuat anak-anak jadi tak bisa dididik dalam arti pendidikan yang sejati; mereka membantu membawahkan pendidikan sejati dan meninggikan apa yang hanya sekedar pelatihan.
Sekolah, sebagaimana negara sendiri, diadakan terutama untuk  mengatur kebutuhan-kebuthan ciptaannya sendiri. Kita memerlukan sebuah perobohan lembaga-lembaga deinstutisionalisasi-yang radikal, termasuk perobohan lembaga persekolahan (deschooling). Dalam sebuah masyarakat yang terdesentralisasikan, terdeinstitusionalisasikan, rakyat akan dikembalikan kepada diri mereka sendiri, kepada sebuah dunia yang disederhanakan secara  radikal, yang terdiri atas sebuah hubungan “aku-engkau’ (i-thou) yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan yang jauh lebih sedikit, atas semangat hidup yang jauh lebih besar, peningkatan rasionalitas, dan adanya sejenis moralitas sejati yang berdasarkan tanggung jawab personal yang tercerahkan. Dalam dunia semacam itu, yang politis akan diubah menjadi yang antar personal, kerjasama dalam ruang lingkup yang bisa ditangani akan menggantikan penyesuaian diri yang dipaksakan terhadap kekuatan-kekuatan tanpa nama yang sesungguhnya adalah milik pemerintah.
Corak Dasar Anarkisme Pendidikan
Ada tiga corak dasar anarkisme pendidikan. Berdasarkan pandangan-pandangan yang paling menonjol, ketiganya dapat dinamai masing-masing sebagai berikut:
(+)  Anarkisme taktis
Kaum anarkis taktis merasa bahwa masyarakat mendidik individu secara jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah dan sejenisnya.
Sejalan dengan itu, mereka merasa bahwa problema-problema pendidikan yang nyata dizaman kita adalah problema-problema sosial seperti misalnya, kemiskinan, rasisme, dan peperangan-persoalan-persoalan yang juga berfungsi untuk  membuat mayoritas anak dibekukan di tingkat-tingkat motivasional yang ada di bawah tingkat-tingkat yang diperlukan bagi pelaksanaan pendidikan yang efektif di sekolah-sekolah.
Maka, hal paling mendidik yang bisa kita lakukan adalah memusnahkan sekolah-sekolah itu sekalian. Kita bisa menggunakan kekayaan besar yang sekarang ini kita hambur-hamburkan untuk  membiayai sistem pendidikan formal yang tidak efisien dan otoriter itu untuk  kita pakai membetulkan atau mengoreksi persoalan-persoalan keadilan sosial yang lebih mendesak, yang pada puncaknya menjadi titik tolak bagi kemungkinan adanya pendidikan sejati bagi anak-anak kita.
(+) Anarkisme revolusioner
Kaum anarkis revoulisioner menganggap sekolah-sekolah sebagai alat (dari) budaya yang dominan. Lantaran itu, sekolah bukan saja tak berguna sebagai gugus depan pembaharuan/perombakan sosial yang punya arti penting. Sekolah-sekolah itu nyatanya malah menjadi para penjaga gerbang utama status quo, kemapanan.
Sebagaimana kaum anarkis revolusioner melihatnya, saat ini sekolah-sekolah diprogram untuk  menghasilkan para produsen-konsumen yang patuh, yang kemudian akan melayani dan mendukung sebuah sistem kontrol-kontrol sosial yang menindas. Cara paling efektif untuk  melaksanakan revolusi sosial yang lebih jauh lagi adalah dengan mengenali dan mengakui lembaga-lembaga pendidikan kita sendiri sebagai agen-agen patologis (penyebar penyakit) yang mereproduksi sistem yang sakit, serta untuk  bangkit dan mengenyahkan sekolah-sekolah.
Pola tindakan semacam itu akan menjadi satu-satunya langkah terpenting untuk  menuju ke arah perubahan sistem yang ada sekarang serta memapankan sebuah masyarakat baru yang tercerahkan, dimana diharapkan nantinya akan lahir sekolah-sekolah baru yang penuh makna.
(+)  Anarkisme utopis
Kaum anarkis utopis menganggap bahwa, dalam budaya kita saat ini, kita hidup di depan pintu masyarakat utopian paska-industri yang dicirikan oleh kemakmuran dan kesenangan bagi semua orang. Jenis masyarakat dimana hanya sejumlah kecil terlatih yang diperlukan demi mempertahankan sebuah sistem produksi yang nyaris sepenuhnya otomatis.
Sejalan dengan itu, sekolah-sekolah kita, yang diadakan terutama untuk  memaksa orang-orang untuk  memikul peran-peran kekaryaan (pekerjaan) yang berguna secara sosial dalam keseluruhan aparat industrial, tak perlu ada lagi. Orang kini bbeas untuk  belajar  demi dirinya sendiri,  secara sukarela, berdasarkan minat spontannya sendiri. Jika orang-orang itu kita  biarkan saja, sebagian dari mereka-dalam jumlah  yang memadai-akan secara alamiah memilih untuk  mempelajari hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat dan yang tidak bisa dikerjakan secara lebih baik oleh mesin-mesin. Dan mereka yang memilih untuk  melakukan pekerjaan tertentu berdasarkan kerelaannya sendiri lebih mungkin bekerja dengan hasil yang lebih baik dan lebih produktif ketimbang mereka yang dipaksa  untuk  bekerja, melawan kecenderungan atau minat alamiahnya.
Singkatnya, dibawah anarkisme, akan ada cukup  banyak orang yang secara spontan akan ingin melakukan sejumlah tugas keperluan sosial untuk  mengenyahkan perlunya meneruskan jenis paksaan terlembaga atas perilaku manusia. Saat itu kita telah memasuki era paska sekolah.
Kesulitan dalam Membedakan Corak Anarkisme
Percabangan anarkisme pendidikan sulit dicontohkan disini karena beberapa alasan :
Pertama, perbedaan antara kaum anarkis yang taktis, yang revolusioner, dan yang utopis pada dasarnya hanyalah pembedaan konseptual, yang tersirat, tetapi tidak secara langsung dinyatakan, dalam tulisan-tulisan kaum anarkis dibidang pendidikan.
Kedua, masih berkaitan dengan itu, adalah kenyataan bahwa selagi kaum anarkis utopis mungkin menginginkan sebuah masyarakat yang tak terlembagakan (yang terdeinstitusionalisasikan) dalam teori, namun mereka sadar bahwa sasaran ini sangat sulit dicapai. Sebagai konsekuensinya, banyak ornag yang cenderung mendukung sebuah sikap otupis bersedia untuk  mengakui bahwa, dalam kondisi-kondisi yang ada sekarang, adalah lebih baik jika anarkisme pendidikan dipakai sebagai sebuah strategi untuk  mendesakkan perubahan sosial yang diperlukan, didalam sistem yang sudah ada. Atau, anarkisme pendidikan difungsikan untuk  mengembangkan serangkaian lembaga sosial yang lebih adil di masa depan yang sudah dekat ini (bukan dikelak kemudian hari), ketimbang ia dipakai sebagai sebuah dalil ideologis yang diterpakan dengan semangat semuanya atau tidak sama sekali.
Dengan kata lain, bahkan kaum anarkis utopis kerapkali menerima sebuah hirarki pilihan-pilihan anarkistis dimana kebaikan tertinggi adalah masyarakat tak terlembaga, namun dimana sang anarkis juga bersedia menerima (setidak-tidaknya untuk  sementara waktu) penghapusan sekolah-sekolah sebagai landasan bagi perbaikan/koreksi atas persoalan-persoalan sosial yang ada, atau untuk  mengembangkan sebuah negara terlembagakan yang lebih berkemanusiaan. Maka, secara ironis, tulisan-tulisan Ivan Illich mungkin bisa dijadikan contoh terbaik bagi seluruh cabang anarkisme pendidikan, karena Illich memiliki simpati yang mendalam terhadap potensi-potensi reformis maupun revolusioner dari gerakan perubahan sekolah-sekolah, meski Illich sendiri tampak sebagai seorang anarkis utopis.
Akhirnya, apa yang memisahkan ketiga corak anarkisme di atas pada dasarnya adalah pertanyaan tentang maksud atau niat.
Bagi kaum anarkis taktis, penghapusan sekolah-sekolah menyediakan akses ke kekayaan yang selama ini dipakai untuk  membiayai aparat persekolahan yang boros dari tangan mereka untuk  digunakan demi tujuan memperbaharui kondisi sosial di dalam sistem yang sudah ada.
Bagi kaum anarkis revolusioner, penghapusan sekolah-sekolah secara efektif menghancurkan batu penjuru dari bangunan sistem yang ada, dan karenanya menebarkan benih jenis revolusi sosial yang perlu demi membukakan era baru dalam sosialisme demorkatis.
Bagi kaum anarkis utopis, penghapusan sekolah-sekolah bukan hanya merupakan cara mengefektifkan pembaharuan/perombakan yang perlu diadakan, melainkan juga menjadi salah satu pembaharuan kunci yang harus dicapai, karena tujuan tertingginya adalah untuk  menciptakan sebuah masyarakat yang tak terlembaga, secara terus menerus melampaui diri dan memperbaharui diri, dimana pengaturan-pengaturan sosial yang perlu diraih melalui kerjasama yang bebas berdasarkan kebutuhan timbal balik.
Kaum  anarkis utopis tidak menentang persekolahan. Ia secara keras menentang lembaga-lembaga yang melestarikan diri sendiri yang memaksa orang untuk  mempelajari hal-hal tertentu dengan cara-cara tertentu dan di saat-saat tertentu. Bagi kaum utopis ini, pendidikan tidak bisa disamakan dengan persekolahan tradisional. Jangankan dengan persekolahan umum/negeri. Dan masyarakat yang baik tidak memerlukan pola-pola wajib belajar, atau proses belajar mengajar mata pelajaran yang diwajibkan.
Jika maksud  atau niat  penting artinya untuk  mengenali berbagai cabang anarkisme pendidikan, namun niat semacam itu seringkali sulit  dikenali. Apa yang menjadi tujuan-tujuan yang melatarbelakangi kebanyakan pemikiran anarkis pendidikan sulit ditentukan adalah karena mereka lebih terang dalam hal menghapus (menegasikan) ketimbang dalam hal meneguhkan (mendukung/menyetujui). Diagnosis mereka mengenai apa yang salah dalam sistem persekolahan yang ada sekarang seringkali tepat dan menyakinkan, namun resep apa yang mereka sodorkan untuk  mengubahnya sering cenderung kabur dan tidak menjadikan orang terbujuk. Ini menyebabkan munculnya kesulitan dalam menentukan apakah kita berhadapan dengan seorang anarkis yang menganggap bahwa penghapusan sekolah adalah sebuah jalan untuk  menjungkirbalikkan sistem sosial yang ada demi menaikkan sebuah sosialisme yang lebih berkemanusiaan, ataukah ia menganggap bahwa penghapusan sekolah adalah sebuah cara melenyapkan kekangan-kekangan politis tradisional serta mendirikan sebuah masyarakat yang sama sekali baru yang didasari individualism kolektif.
Anarkisme dalam sebuah pendidikan
Tujuan utama pendidikan adalah untuk  membawa pembaharuan/perombakan berskala besar dan segera, di dalam masyarakat dengan cara menghilangkan persekolahan wajib.
(+) Tujuan-tujuan sekolah
Sistem persekolahan formal yang ada sekarang dihapuskan sepenuhnya dan digantikan dengan sebuah pola belajar sukarela serta mengarahkan diri sendiri, akses yang bebas dan universal ke bahan-bahan pendidikan serta kesempatan-kesempatan belajar mesti disediakan namun tanpa sistem pengajaran wajib.
(+) Ciri-ciri umum anarkisme pendidikan
Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah keluaran sampingan (by product) alamiah dari kehidupan sehari-hari.
Menganggap kepribadian individual sebagai sebuah nilai yang melampaui tuntutan-tuntutan masyarakat manapun.
Menekankan pilihan bebas dan penentuan nasib sendiri dalam sebuah latar belakang sosial yang waras dan humanistic (berorientasi pada pribadi).
Menganggap  pendidikan sebagai sebuah fungsi alamiah dari kehidupan sehari-hari di dalam lingkungan sosial yang  rasional dan produktif
Memusatkan perhatian kepada perkembangan sebuah masyarakat pendidikan yang melenyapkan atau secara radikal menimimalisir keperluan akan  adanya sekolah-sekolah formal, juga seluruh kekangan terlembaga lainnya atas  perilaku personal. Menekankan masa depan paska-kesejarahan dimana orang akan mampu berfungsi sebagai makhluk-makhluk bermoral yang mengatur diri sendiri.
Menekankan perubahan berkelanjutan serta pembaharuan diri didalam sebuah masyarakat yang secara tetap lahir kembali, menekankan kebutuhan untuk  meminimkan dan/atau mengenyahkan kekangan-kekangan terlembaga atas perilaku personal.
Didasarkan pada sebuah sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional) dan atau berlandaskan prakiraan-prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan semacam itu.
Berdiri di atas prakiraan-prakiraan anarkis  atau semu anarkistis mengenai bisa disempurnakannya moral manusia dibawah kondisi-kondisi yang paling puncak.
Menganggap bahwa wewenang intelektual secara tepat ada ditangan mereka yang secara tepat telah mendiagnosis konflik dasar yang ada antara keperluan-keperluan individual dengan tuntutan-tuntutan negara.
(+) Anak sebagai pelajar
Anak-anak cenderung menjadi baik (yakni, menginginkan tindakan yang efektif dan tercerahkan) ketika anak-anak itu diasuh dalam sebuah masyarakat yang baik (yakni yang rasional dan berkemanusiaan).
Perbedaan-perbedaan antar individu bergerak menentang kebijaksanaan meresepkan pengalaman-pengalaman pendidikan yang sama atau serupa bagi setiap orang.
Anak-anak secara moral setara, dan mereka mesti mendapatkan kesempatan-kesempatan untuk  belajar apapun yang mereka pilih sendiri, demi  memperoleh tujuan apapun yang mereka anggap layak dikejar.
Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan diri yang bersifat sosial ini  menjadi landasan bagi seluruh penentuan ‘diri’ selanjutnya. Anak bebas hanya dalam konteks determinisme sosial dan psikologis. Masyarakat dan negara tidaklah sama artinya (tidak sinonim). Masyarakat adalah perlu bagi pemenuhan diri. Tetapi negara menghalangi perwujudan sepenuhnya masyarakat tersebut.
(+) Administrasi dan pengendalian
Wewenang pendidikan mesti dikembalikan kepada rakyat dengan mengizinkan setiap orang mengendalikan hakikat dan pelaksanaan perkembangan dirinya sendiri.
Tidak perlu ada wewenang khusus yang diberikan pada guru sebagai guru.
(+) Sifat-sifat kurikulum
Sekolah harus dihapuskan demi memperbesar pilihan personal yang bebas
Pendidikan tidak sama dengan persekolahan; satu-satunya kegiatan belajar yang sebenarnya hanyalah belajar yang ditentukan sendiri; dan ini hanya bisa berlangsung secara efektif di dalam sebuah masyarakat yang tanpa sekolah
Penekanan harus diletakkan pada pemungkinan tiap individu untuk  menentukan tujuan-tujuan belajar sendiri.
Di dalam tuntutan-tuntutan yang dikenakan oleh sistem keberadaan sosial manapun (yang mengisyaratkan perlunya pengalaman-pengalaman sosial tertentu dan dengan demikian juga kegiatan belajar bersama/umum), seluruh kegiatan belajar harus ditentukan sendiri oleh yang belajar.
Penekanan harus diletakkan pada apa yang relevan personal dengan mengorbankan pembedaan tradisional antara apa yang akademis, yang intelektual dan yang praktis,
Penekanan harus diletakkan pada apa yang relevan secara personal dengan mengorbankan pembedaan tradisional antara apa yang akademis, yang intelektual, dan yang praktis.
Setiap orang harus bebas untuk  menentukan hakikat dan sejauh mana ia akan belajar.
(+) Metode-metode pengajaran dan penilaian hasil belajar
Siswa secara individual mesti menjadi penentu metode-metode pengajaran mana yang paling sesuai dengan tujuan-tujuan dan rancangan-rancangan pendidikannya sendiri.
Nilai disiplin dan hapalan serta lain-lainnya yang berkaitan dengan itu harus dibiarkan menjadi rahasia orang yang belajar itu sendiri; mereka yang menghendaki pendekatan-pendekatan direktif atau otoritarian terhadap kegiatan belajar mesti bebas untuk  memilh pendekatan seperti itu dengan dasar individual.
Peran-peran tradisional guru dan siswa yang diterapkan oleh lembaga harus dihapuskan.
Guru adalah sebuah aspek yang bisa dihapus/dibuang (atau paling banter, menjadi sebuah pilihan saja), dari proses pendidikan
Penilaian/evaluasi yang terbaik adalah penilaian diri sendiri, yang harus difungsikan hampir secara ekslusif untuk  tujuan persaingan diri
Secara alamiah manusia bersifat sosial dan maju bekerjasama. Dan sejalan dengan itu, kegiatan belajar harus menekankan kerjasama serta meminimalkan persaingan antarpribadi demi ganjaran-ganjaran. Lantaran individu secara alamiah bersifat menwujudkan diri, maka ia secara intrinsic memiliki persaingan diri, serta tidak memerlukan dorongan dari luar untuk  belajar.
Pembedaan tradisional antara yang kognitif, afektif dan interpersonal adalah pembeda palsu/artifisal dan tidak produktif dalam memandang proses belajar yang sebenarnya bersifat total  serta organis.
Bisa dikatakan bahwa seluruh lembaga sosial yang berkelanjutan dan melestarikan diri sendiri harus dimusnahkan seluruhnya
Bimbingan dan penyuluhan individual, serta terapi kejiwaan, sebagaimana itu dilaksanakan melalui sekolah-sekolah, hanyalah satu bagian dari sistem pembatasan sosial yang dalam kenyataan menyebabkan timbulnya berbagai problema kejiwaan yang mereka pura-pura sembuhkan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi, didasarkan suatu pendidikan harus dipandang dengan adanya keterkaitan masyarakat yang sangat penting, bagi kaum anarkis. Individu merupakan bagian masyarakat yang dimana psikologis atau development karena individu ditentukan pada intinya di bawah oleh keanggotaan sosial.
Saran
Didalam melakukan suatu pendidikan, jangan menganggap sesuatu yang mudah tidak penting. Karena bagian masyarakat berperan penting masalah pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Cohn-Bendit, Daniel, dan Gabriel, Cohn Bendit, Obsolette Comunism; the Left Wing Alternative, terjemahan Arnold Pomerans, New York: McGraw-Hill Book co. 1968.
Goodman, Paul, Compulsory Mis-education, New York; Vintage Books, 1966.
Holt John, Freedom and Beyond, New York; E.P. Dutton, 1972.

Illich, Ivan dkk, After Schooling, What?, Suntingan Allen Gartner, Colin Greer, dan Frank Riesman, New York: Harper & Row, 1973.

My Visitors

free counters

About Me

Foto Saya
ningrum tania widayu
student of gunadarma university'11 15111184|1ka23|sistem informasi
Lihat profil lengkapku