topbella

Minggu, 24 November 2013

ANALISA PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.

Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Perkembangan Bahasa Indonesia Secara Kronologis
Perkembangan Bahasa merupakan suatu peristiwa bersejarah. Perkembangan bahasa adalah akibat atau hasil yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan pengembangan. Pada umumnya perkembangan bahasa tersebut diwujudkan dengan perubahan-perubahan bahasa itu. Dalam modul ini akan diperbincangkan perkembangan bahasa Indonesia sejak terbentuknya hingga sekarang serta perkembangan penyerapan kata dan istilah asing dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
 Anda tentu sudah mengetahui bahwa bahasa Indonesia yang kita pakai sekarang ini berasal dari bahasa Melayu. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan bahasa Melayu di dalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi sebagai bahasa penghubung (lingua franca). Dari waktu ke waktu terjadilah perubahan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang pada akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat. Beratus-ratus tahun bahasa Melayu, sebagai dasar bahasa Indonesia, berfungsi sebagai lingua franca di Nusantara. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan bahasa Melayu didalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi sebagai bahasa penghubung (lingua franca).
Dari waktu ke waktu terjadilah perubahan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang pada akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat. Oleh sebab itu, pada saat bangsa kita memerlukan sebuah bahasa nasional yang dapat dijadikan alat komunikasi secara nasional, penunjukan bahasa Melayu disetujui secara aklamasi. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minangkabau, atau bahasa Batak yang jumlah pendukungnya jauh lebih besar daripada jumlah pendukung bahasa Melayu, dengan rela dan senang hati menerima putusan itu. Maka, pada tanggal 28 Oktober 1928 dicetuskanlah kedudukan bahasa Indonesia itu dalam suatu ikrar pemuda Indonesia yamg kita kenal dengan “Sumpah Pemuda” pada butir ketiga.
Secara lengkap dan ejaan yang asli butir-butir “Sumpah Pemuda” itu dapat Anda simak berikut ini.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
   Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa  
   Indonesia.
 Butir ketiga dalam Sumpah Pemuda itu menjadi ketukan palu berubahnya bahasa Indonesia sebagai lingua franca kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Perkembangan bahasa Melayu yang berubah menjadi bahasa Indonesia didasarkan pada segi politik  dan ekonomi. Bahasa yang dapat diangkat menjadi bahasa nasional adalah bahasa yang berfungsi di dalam dunia politik dan ekonomi. Bahkan, ketentuan itu dikuatkan lagi oleh kemampuan bahasa tersebut mengungkapkan nilai-nilai budaya dan sastra. Hal itu terlihat pada lahirnya berbagai karya sastra jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, seperti novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, dan novel Azab dan Sengsara (1918) karya Merari Siregar. Bahasa itu pula yang dipakai oleh Balai Pustaka sebagai satu-satunya penerbit pemerintah di Indonesia pada awal abad XX ini.

 PERKEMBANGAN EJAAN
Secara lengkap dapat dikatakan bahwa “ejaan” adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan di antara lambang-lambang itu (pemisah dan penggabungan dalam suatu bahasa). Secara teknis, ejaan adalah aturan tulis-menulis dalam suatu bahasa yang berhubungan dengan penulisan huruf, pemakaian huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, serta penulisan dan pemakaian tanda baca.
Pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut; Apakah bahasa Indonesia sudah memiliki aksara sebelum diresmikan menjadi bahasa persatuan? Jawabnya adalah bahwa bahasa Melayu sudah memiliki aksara sejak beratus tahun yang lalu, yaitu aksara Arab-Melayu.
         
Aksara Arab-Melayu dipakai secara umum di daerah Melayu dan daerah-daerah yang telah menggunakan bahasa Melayu. Akan tetapi, terjadi kontak budaya dengan dunia Barat, sebagai akibat kedatangan orang Barat dalam menjajah di daerah Melayu itu, di sekolah-sekolah Melayu sudah digunakan aksara Latin yang penggunaannya tidak terpimpin.
Oleh sebab itu, Ch. A. Van Ophuijsen (seorang ahli bahasa dari Belanda) dibantu oleh dua orang pakar dari Melayu, yaitu Engkoe Nawawi gelar Soetan Ma’moer, dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, menggabungkan dasar-dasar ejaan Latin dan ejaan Belanda, sehingga berhasil membuat ejaan bahasa Melayu, yang ejaan tersebut lazim disebut sebagai Ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan pemakaiannya pada tahun 1901.
Pada tahun 1926, menjelang Sumpah Pemuda, ejaan Van Ophuijsen mengalami revisi dengan tanpa perubahan yang berarti. Pada tahun 1947 muncullah ejaan yang baru sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dr. Soewandi, pada tanggal 19 Maret 1947 yang disebut sebagai Ejaan Republik. Oleh karena Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan adalah Dr. Soewandi, ejaan yang diresmikan itu disebut juga Ejaan Soewandi. Memang peresmian ejaan tersebut dilakukan pada tahun 1947, tetapi pekerjaan penyusunan ejaan tersebut sudah disempurnakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia.
Hal-hal yang menonjol dalam Ejaan Soewandi itu adalah sebagai berikut:
Huruf /oe/ diganti dengan /u/, seperti dalam kata berikut;
goeroe                            guru
itoe                                 itu
oemoer                           umur
2.   Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan /k/, seperti dalam kata berikut;
tida’                                tidak
Pa’                                  Pak
ma’lum                            maklum
ra’yat                             rakyat
3.   Angka dua (2) boleh dipakai untuk menyatakan pengulangan, seperti kata berikut;
beramai-ramai                 be-ramai2
anak-anak                       anak2
berlari-larian                    ber-lari2-an
berjalan-jalan                  ber-jalan2
4.   Awalan di- dan kata depan di, kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seprti kata berikut;
diluar, dikebun, ditulis, ditempuh
diantara, disimpan, dipimpin, dipinggir,
dimuka,ditimpa, disini, dijemput.
5.   Tanda trema tidak dipakai lagi sehingga tidak ada perbedaan antara suku kata dan diftong, seperti kata berikut.
didjoempai                      didjumpai
dihargai                          dihargai
moelai                             mulai
6.   Tanda aksen pada huruf e tidak dipakai lagi, seperti pada kata berikut.
ekor                                ekor
heran                              heran
merah                             merah
berbeda                          berbeda
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slamet Mulyana dan Syeh Nasir bin Ismail, masing-masing berperanan sebagai ketua perutusan) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Ejaan Melindo tidak pernah diresmikan  karena politik yang terjadi pada kedua negara itu tidak memungkinkan untuk meresmikan ejaan tersebut. Berbagai perencanaan yang dilakukan  dalam ejaan Melindo berkisar pada penyamaan lambang ujaran antara kedua negara dan perlambangan setiap bunyi ujaran untuk satu lambang. Oleh sebab itu, muncullah beberbagai gagasan yang sebagaian gagasan tersebut dituangkan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Pada tanggal 16 agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang lazim disingkat dalam istilah EYD. Peresmian ejaan tersebut berdasarkan keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972. Dengan dasar itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang memuat berbagai patokan pemakaian ejaan yang baru. Buku yang beredar yang memuat kaidah-kaidah ejaan tersebut direvisi dan dilengkapi oleh suatu badan yang berada di bawah departemen Pendidikan Kebudayaan yang diketuai olaeh Prof. Dr. Amran Halim dengan dasar surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober1972, Nomor 156/P/1972. Hasil kerja komisi tersebut adalah berupa sebuah buku yang berjudul Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang diberlakukan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0196/1975. Bersama buku tersebut lahir pula sebuah buku yang berfungsi sebagai pendukung buku yang pertama, yaitu buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu adalah sebagai berikut :
1. Huruf yang berubah fungsi adalah sebagai berikut ;
    a. /dj/ djalan menjadi /j/ jalan
    b. /j/ pajung menjadi /y/ payung
    c. /nj/ njanji menjadi /y/ nyanyi
    d. /sj/ isjarat menjadi /sy/ syarat
    e. /tj/ tjukup menjadi /c/ cukup
    f. /ch/ achir menjadi /kh/ akhir
2. Huruf yang resmi pemakaiannya yang dalam ejaan sebelumnya belum resmi
     pemakaiannya seperti berikut ;
      a. pemakaian huruf /f/ dalam kata maaf, fakir
      b. pemakaian heruf /v/ dalam kata universitas, valuta
      c. pemakaian huruf /z/ dalam kata lezat, zeni
 3. Huruf yang hanya dipakai dalam ilmu eksakta, yaitu sebagai berikut ;
     a. pemakaian huruf /q/ dalam rumus a:b = p:q
     b. pemakaian huruf /x/ dalam istilah Sinar-X
4. Penulisan di- awalan dan penulisan di kata depan seperti berikut ;
    a. penulisan awalan pada kata ditulis, dimakan, dijumpai
    b. penulisan kata depan pada kata di muka, di pojok, di antara
5. Bentuk ulang yang tidak ditulis dengan angka dua (2) seperti berikut ;
    Berpandang-pandangan, berlari-lari, rumah-rumah.

BALAI PUSTAKA
Balai Pustaka (Ejaan Van Ophuijsen: Balai Poestaka, bahasa Jawa ejaan lama: Balé Poestaka) adalah sebuah perusahaan penerbitan danpercetakan milik negara. Balai Pustaka didirikan dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (bahasa Belanda: "Komisi untuk Bacaan Rakyat") oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 14 September 1908. Commissie voor de Volkslectuur kemudian berubah menjadi "Balai Poestaka" pada tanggal 22 September 1917. Balai Pustaka menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputi kamus, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.
Menurut Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, Balai Pustaka kini terancam bangkrut dan akan dilikuidasi karena terus mengalami kerugian.
Kios Balai Poestaka di Purwokerto pada masa Hindia-Belanda
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia-Belanda. Bahasa-bahasa ini adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura.
Ada visi alternatif yang menyebutkan bahwa pendiriannya kala itu konon untuk mengantisipasi tingginya gejolak perjuangan bangsa Indonesia yang hanya bisa disalurkan lewat karya-karya tulisan. Berbagai tulisan masyarakat anti-Belanda bermunculan di koran-koran daerah skala kecil, sehingga perusahaan penerbitan ini lalu didirikan Belanda dengan tujuan utama untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan menyalurkan nya secara lebih manusiawi sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda di Indonesia.
Tujuan lain yang dilakukan oleh Komisi Bacaan Rakyat (KBR) yaitu menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini juga bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.
Tidak semua usaha yang dilakukan oleh (BKR) negatif. usaha usaha yang positif antara lain: mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur, memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam bahasa Sunda.
Langkah maju yang dilakukan KBR, yang telah berhasil sebagai pencetak, penerbit, dan penjual majalah, adalah mengubah KBR menjadi Yayasan Resmi Balai Pustaka pada tahun 1917.
Buku Balé Poestaka (Supraba lan Suminten, 1923)
Salah satu novel dalam bahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul Siti Noerbaja karangan Marah Roesli, seorang penulis dari Minangkabau.
Di era itu juga menjadi penanda penyebaran sastra Jawa Modern. Jumlah buku berbahasa Jawa lebih banyak dibandingkan yang berbahasa Melayu. Dari penelusuran George Quinn, pada katalog Balai Pustaka di 1920, ada 40 buku berbahasa Madura, 80 judul berbahasa Melayu, hampir 100 buku berbahasa Sunda, dan hampir 200 berbahasa Jawa. Pada tahun ini pula lahir novel Serat Rijantokarangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa modern.

TAMAN BACAAN MASYARAKAT
Yogyakarta (30/08) Taman Bacaan Masyarakat (TBM) adalah lembaga pembudayaan kegemaran membaca masyarakat yang menyediakan bahan bacaan, berupa: buku, majalah, tabloid, koran, komik, dan bahan multi media lain, yang dilengkapi dengan adanya ruangan untuk membaca, diskusi, bedah buku, menulis, dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya, dan didukung oleh pengelola yang berperan sebagai motivator.
Penyelenggaraan TBM dimaksudkan untuk menyediakan bahan bacaan dalam rangka untuk membantu dan memberikan layanan kepada masyarakat sesuai dengan (1) kebutuhan, (2) kemampuan keaksaraan, dan (3) keterampilan membaca masyarakat merata, meluas, terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat dengan murah. Adapun tujuannya adalah:
menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca masyarakat,
mendukung pembudayaan kegemaran membaca,
mendorong terwujudnya masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
mewujudkan kualitas dan kemandirian masyarakat yang berpengetahuan, berketerampilan, berbudaya maju, dan beradab.
Fungsi yang melekat pada TBM adalah sebagai; (1) sumber belajar, (2) sumber informasi, dan (3) sarana rekreasi-edukasi. Sebagai Sumber Belajar, TBM dengan bahan bacaan yang disediakan dapat memberikan layanan kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas membaca dan belajar dalam rangka mendukung terciptanya masyarakat pembelajar sepanjang hayat, seperti: buku pengetahuan untuk membuka wawasan dan menambah pengetahuan, buku keterampilan, untuk memperoleh berbagai keterampilan praktis yang bisa dipraktekkan setelah membaca misal praktek memasak, budidaya ikan, menanam cabe dan lainnya.
Sebagai sumber informasi, dalam menyediakan bahan bacaan, selain buku-buku TBM juga menyediakan koran, tabloid, dan referensi, seperti brosur, leaflet yang semuanya ini dapat memberikan informasi. Disamping itu dengan peralatan elektroniknya TBM dapat juga menyediakan internet yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengakses informasi melalui dunia maya.
Sebagai tempat rekreasi-edukasi, dengan buku-buku nonfiksi yang disediakan memberikan hiburan yang mendidik dan menyenangkan. Lebih jauh dari itu, TBM dengan bahan bacaan yang disediakan mampu membawa masyarakat lebih dewasa dalam berperilaku, bergaul di masyarakat lingkugan.
Dari pengertian TBM disebutkan bahwa pengelola TBM berperan sebagai motivator, artinya pengelola TBM diharapkan mampu mendorong masyarakat dan khususnya pengunjung untuk mau dan mampu meningkatkan keterampilan membaca dengan kreativitasnya memberikan layanan. Layanan yang dapat diberikan TBM adalah:
Membaca ditempat, agar pengunjung mau dan gemar membaca di TBM maka bahan bacaan yang disediakan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung. Dengan menemukenali minat dan karakteristik pengunjung dapat menentukan bahan bacaan yang tepat.
Meminjamkan buku, artinya buku dapat dibawa pulang untuk dibaca dirumah dalam waktu tertentu dan peminjam wajib mengembalikan tepat waktu.
Pembelajaran, dengan menggunakan berbagai pendekatan, misalnya:
membacakan buku dan/atau mendongeng untuk anak usia dini,membimbing belajar membaca, menulis, berhitung, dan berkomunikasi,belajar sambil praktek keterampilan atau melaksanakan kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat,membimbing teknik membaca cepat (scanning dan skimming),
menemukan kalimat dan kata kunci dari bacaan,lomba menceriterakan kembali buku yang telah dibaca, membedahnya dan mengenal bagaimana memproduksi buku, bagaimana menjadi pembaca dan penulis kreatif.

EJAAN SOEWANDI DAN EYD.
Dari Ejaan van Ophuijsen Hingga EYD
1. Ejaan van Ophuijsen
Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut.
a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
c. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.
2. Ejaan Soewandi
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.
a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
3. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972)
Malaysia
(pra-1972)
Sejak 1972
Tj
ch
C
Dj
J
J
Ch
kh
Kh
Nj
ny
Ny
Sj
sh
Sy
J
Y
Y
oe*
U
U





0 komentar:

Posting Komentar

My Visitors

free counters

About Me

Foto Saya
ningrum tania widayu
student of gunadarma university'11 15111184|1ka23|sistem informasi
Lihat profil lengkapku