topbella

Minggu, 24 November 2013

Karya ilmiah 

Karya ilmiah merupakan karya tulis yang isinya berusaha memaparkan suatu pembahasan secara ilmiah yang dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti. Untuk memberitahukan sesuatu hal secaralogis dan sistematis kepada para pembaca. Karyailmiah biasanya ditulis untuk mencari jawaban mengenai sesuatu hal dan untuk membuktikan kebenaran tentang sesuatu yang terdapat dalam objek tulisan.

Karya ilmiah tentang Anarkisme Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
Apa yang benar-benar terjadi pada masyarakat juga sama benarnya dengan apa yang terjadi pada sekolah-sekolah. Makna istilah “pendidikan” itu sendiri makin lama makin controversial. Lebih banyak dan makin banyak lagi kegiatan-kegiatan tentang pendidikan yang telah teruji waktu kini dikaji ulang dan dipertimbangkan kembali, akibatnya perdebatan terhadap tujuan-tujuan yang lebih besar dalam pendidikan kini tidak lagi menjadi hal yang tersisih dipinggiran, yang jarang dipakai dipertimbangkan. Ia kini memiliki status sebagai prioritas, sebagaimana mustinya sejak awal, yakni di jantung kurikulum pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN
Anarkisme Dan Tradisi Liberal
Kaum anarkis akan berbeda pandangan dari kaum liberal lainnya (liberalis dan liberasionis) dalam dua hal mendasar :
(+) Bagi kaum anarkis, individu adalah secara deskriptif berada di bawah masyarakat (dalam arti psikologis atau developmental) karena individu ditentukan, pada intinya, oleh kenggotaan sosialnya. Disisi lain, individu secara preskriptif lebih tinggi kedudukannya (superior) ketimbang dalam masyarakat (dalam arti filosofis murni), dan ia menjadi benar-benar manusia serta mencapai perwujudan diri ketika ia melampaui perintah-perintah atau keharusan-keharusan (imperative) masyarakat terorganisir itu secara menyeluruh.
Dengan kata lain, bagi kaum anarkis, kenyataan bahwa masyarakat terorganisir belakangan lebih diutamakan ketimbang ungkapan-ungkapan diri individual adalah tepat dalam kenyataan, namun tetap saja situasi itu pantas diselesaikan, lantaran secara objektif individu mampu memantulkan perilaku moral secara langsung tampa dipaksakan, dan perilaku semacam itu tidak butuh kekangan atau kontrol sosial dari luar.
Sebagaimana para anarkisme melihatnya, manusia secara ilmiah bersifat sosial, secara alamiah ia memerlukan orang lain dan ia secara aktif cenderung bekerja sama dengan orang-orang lain itu dalam cara rasional dan konstruktif, di atas landasan yang murni bersifat sukarela. Kesulitannya mucul terutama dari kenyataan bahwa masyarakat tak terceraikan lagi, diidentifikasikan dengan lembaga-lembaga serta proses-proses politik, yang secara otomatis memerosotkan kedudukan individu menjadi sekedar sebuah fungsi dari kelompok. Maka, makin lama individu makin lama terlembagakan. Otomi personalnya sudah dirampas darinya, dan ia telah dikekang secara langsung, lewat kekuasaan pemaksa, secara tidak langsung lewat pembelajaran (sosialisasi) upaya ini mematuhi aturan-aturan dari luar dirinya dan taat kepada kendali-kendali yang dipegang oleh agen-agen politik pra-kemapanan. Kendali-kendali itu nyatanya berfungsi untuk  menjadikan indifidu makin berkurang bertanggung jawab (dan lebih pasif), makin kurang rasional (dan lebih reaktif), serta makin kurang sosial (dan lebih patuh).
(+) Masyarakat (dan kebudayaan) sama-sama diperlakukan dan baik. Namun negara, yang mencaplok dan membawakan individu pada organisasi-organisasi pra-penentu serta lembaga-lembaga yang berfungsi untuk  melestarikan sebuah corak perilaku tertentu melalui jangka waktu tak terbatas, sustinya tidak disamakan dengan masyarakat.
Negara bisa dihapus, bisa dibuang, pada umumnya ‘obat-obat’ otoritarian yang ditawarkannya untuk  ‘menyembuhkan’ kekacauan malah cenderung untuk  menciptakan penyakit-penyakit yang menjalar diantara rakyat, yang lebih para jika dibandingkan dengan kekacauan-kekacauan yang mereka rancang untuk  dikoreksi atau dibetulkan itu. Dalam upayanya untuk  membelajarkan manusia, negara malah menjadikan manusia yang tak manusiawi, dengan cara melucuti kemampuan serta kecendrungan untuk  berfikir serta bertindak bagi dirinya sendiri.
Pendidikan versus persekolahan
Bagi kaum anarkis, pendidikan yang dipandang sebagai sebuah proses yang harus ada untuk  belajar melalui pengalaman sosial alamiah manusia sendiri jangan sampai dicakaukan dengan persekolahan, yang hanyalah sebuah corak pendidikan dan yang hanya merupakan kaki tangan negara otoriter. Dengan merosotkan tanggung jawab personal, negara dan persekolahan membuat anak-anak jadi tak bisa dididik dalam arti pendidikan yang sejati; mereka membantu membawahkan pendidikan sejati dan meninggikan apa yang hanya sekedar pelatihan.
Sekolah, sebagaimana negara sendiri, diadakan terutama untuk  mengatur kebutuhan-kebuthan ciptaannya sendiri. Kita memerlukan sebuah perobohan lembaga-lembaga deinstutisionalisasi-yang radikal, termasuk perobohan lembaga persekolahan (deschooling). Dalam sebuah masyarakat yang terdesentralisasikan, terdeinstitusionalisasikan, rakyat akan dikembalikan kepada diri mereka sendiri, kepada sebuah dunia yang disederhanakan secara  radikal, yang terdiri atas sebuah hubungan “aku-engkau’ (i-thou) yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan yang jauh lebih sedikit, atas semangat hidup yang jauh lebih besar, peningkatan rasionalitas, dan adanya sejenis moralitas sejati yang berdasarkan tanggung jawab personal yang tercerahkan. Dalam dunia semacam itu, yang politis akan diubah menjadi yang antar personal, kerjasama dalam ruang lingkup yang bisa ditangani akan menggantikan penyesuaian diri yang dipaksakan terhadap kekuatan-kekuatan tanpa nama yang sesungguhnya adalah milik pemerintah.
Corak Dasar Anarkisme Pendidikan
Ada tiga corak dasar anarkisme pendidikan. Berdasarkan pandangan-pandangan yang paling menonjol, ketiganya dapat dinamai masing-masing sebagai berikut:
(+)  Anarkisme taktis
Kaum anarkis taktis merasa bahwa masyarakat mendidik individu secara jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah dan sejenisnya.
Sejalan dengan itu, mereka merasa bahwa problema-problema pendidikan yang nyata dizaman kita adalah problema-problema sosial seperti misalnya, kemiskinan, rasisme, dan peperangan-persoalan-persoalan yang juga berfungsi untuk  membuat mayoritas anak dibekukan di tingkat-tingkat motivasional yang ada di bawah tingkat-tingkat yang diperlukan bagi pelaksanaan pendidikan yang efektif di sekolah-sekolah.
Maka, hal paling mendidik yang bisa kita lakukan adalah memusnahkan sekolah-sekolah itu sekalian. Kita bisa menggunakan kekayaan besar yang sekarang ini kita hambur-hamburkan untuk  membiayai sistem pendidikan formal yang tidak efisien dan otoriter itu untuk  kita pakai membetulkan atau mengoreksi persoalan-persoalan keadilan sosial yang lebih mendesak, yang pada puncaknya menjadi titik tolak bagi kemungkinan adanya pendidikan sejati bagi anak-anak kita.
(+) Anarkisme revolusioner
Kaum anarkis revoulisioner menganggap sekolah-sekolah sebagai alat (dari) budaya yang dominan. Lantaran itu, sekolah bukan saja tak berguna sebagai gugus depan pembaharuan/perombakan sosial yang punya arti penting. Sekolah-sekolah itu nyatanya malah menjadi para penjaga gerbang utama status quo, kemapanan.
Sebagaimana kaum anarkis revolusioner melihatnya, saat ini sekolah-sekolah diprogram untuk  menghasilkan para produsen-konsumen yang patuh, yang kemudian akan melayani dan mendukung sebuah sistem kontrol-kontrol sosial yang menindas. Cara paling efektif untuk  melaksanakan revolusi sosial yang lebih jauh lagi adalah dengan mengenali dan mengakui lembaga-lembaga pendidikan kita sendiri sebagai agen-agen patologis (penyebar penyakit) yang mereproduksi sistem yang sakit, serta untuk  bangkit dan mengenyahkan sekolah-sekolah.
Pola tindakan semacam itu akan menjadi satu-satunya langkah terpenting untuk  menuju ke arah perubahan sistem yang ada sekarang serta memapankan sebuah masyarakat baru yang tercerahkan, dimana diharapkan nantinya akan lahir sekolah-sekolah baru yang penuh makna.
(+)  Anarkisme utopis
Kaum anarkis utopis menganggap bahwa, dalam budaya kita saat ini, kita hidup di depan pintu masyarakat utopian paska-industri yang dicirikan oleh kemakmuran dan kesenangan bagi semua orang. Jenis masyarakat dimana hanya sejumlah kecil terlatih yang diperlukan demi mempertahankan sebuah sistem produksi yang nyaris sepenuhnya otomatis.
Sejalan dengan itu, sekolah-sekolah kita, yang diadakan terutama untuk  memaksa orang-orang untuk  memikul peran-peran kekaryaan (pekerjaan) yang berguna secara sosial dalam keseluruhan aparat industrial, tak perlu ada lagi. Orang kini bbeas untuk  belajar  demi dirinya sendiri,  secara sukarela, berdasarkan minat spontannya sendiri. Jika orang-orang itu kita  biarkan saja, sebagian dari mereka-dalam jumlah  yang memadai-akan secara alamiah memilih untuk  mempelajari hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat dan yang tidak bisa dikerjakan secara lebih baik oleh mesin-mesin. Dan mereka yang memilih untuk  melakukan pekerjaan tertentu berdasarkan kerelaannya sendiri lebih mungkin bekerja dengan hasil yang lebih baik dan lebih produktif ketimbang mereka yang dipaksa  untuk  bekerja, melawan kecenderungan atau minat alamiahnya.
Singkatnya, dibawah anarkisme, akan ada cukup  banyak orang yang secara spontan akan ingin melakukan sejumlah tugas keperluan sosial untuk  mengenyahkan perlunya meneruskan jenis paksaan terlembaga atas perilaku manusia. Saat itu kita telah memasuki era paska sekolah.
Kesulitan dalam Membedakan Corak Anarkisme
Percabangan anarkisme pendidikan sulit dicontohkan disini karena beberapa alasan :
Pertama, perbedaan antara kaum anarkis yang taktis, yang revolusioner, dan yang utopis pada dasarnya hanyalah pembedaan konseptual, yang tersirat, tetapi tidak secara langsung dinyatakan, dalam tulisan-tulisan kaum anarkis dibidang pendidikan.
Kedua, masih berkaitan dengan itu, adalah kenyataan bahwa selagi kaum anarkis utopis mungkin menginginkan sebuah masyarakat yang tak terlembagakan (yang terdeinstitusionalisasikan) dalam teori, namun mereka sadar bahwa sasaran ini sangat sulit dicapai. Sebagai konsekuensinya, banyak ornag yang cenderung mendukung sebuah sikap otupis bersedia untuk  mengakui bahwa, dalam kondisi-kondisi yang ada sekarang, adalah lebih baik jika anarkisme pendidikan dipakai sebagai sebuah strategi untuk  mendesakkan perubahan sosial yang diperlukan, didalam sistem yang sudah ada. Atau, anarkisme pendidikan difungsikan untuk  mengembangkan serangkaian lembaga sosial yang lebih adil di masa depan yang sudah dekat ini (bukan dikelak kemudian hari), ketimbang ia dipakai sebagai sebuah dalil ideologis yang diterpakan dengan semangat semuanya atau tidak sama sekali.
Dengan kata lain, bahkan kaum anarkis utopis kerapkali menerima sebuah hirarki pilihan-pilihan anarkistis dimana kebaikan tertinggi adalah masyarakat tak terlembaga, namun dimana sang anarkis juga bersedia menerima (setidak-tidaknya untuk  sementara waktu) penghapusan sekolah-sekolah sebagai landasan bagi perbaikan/koreksi atas persoalan-persoalan sosial yang ada, atau untuk  mengembangkan sebuah negara terlembagakan yang lebih berkemanusiaan. Maka, secara ironis, tulisan-tulisan Ivan Illich mungkin bisa dijadikan contoh terbaik bagi seluruh cabang anarkisme pendidikan, karena Illich memiliki simpati yang mendalam terhadap potensi-potensi reformis maupun revolusioner dari gerakan perubahan sekolah-sekolah, meski Illich sendiri tampak sebagai seorang anarkis utopis.
Akhirnya, apa yang memisahkan ketiga corak anarkisme di atas pada dasarnya adalah pertanyaan tentang maksud atau niat.
Bagi kaum anarkis taktis, penghapusan sekolah-sekolah menyediakan akses ke kekayaan yang selama ini dipakai untuk  membiayai aparat persekolahan yang boros dari tangan mereka untuk  digunakan demi tujuan memperbaharui kondisi sosial di dalam sistem yang sudah ada.
Bagi kaum anarkis revolusioner, penghapusan sekolah-sekolah secara efektif menghancurkan batu penjuru dari bangunan sistem yang ada, dan karenanya menebarkan benih jenis revolusi sosial yang perlu demi membukakan era baru dalam sosialisme demorkatis.
Bagi kaum anarkis utopis, penghapusan sekolah-sekolah bukan hanya merupakan cara mengefektifkan pembaharuan/perombakan yang perlu diadakan, melainkan juga menjadi salah satu pembaharuan kunci yang harus dicapai, karena tujuan tertingginya adalah untuk  menciptakan sebuah masyarakat yang tak terlembaga, secara terus menerus melampaui diri dan memperbaharui diri, dimana pengaturan-pengaturan sosial yang perlu diraih melalui kerjasama yang bebas berdasarkan kebutuhan timbal balik.
Kaum  anarkis utopis tidak menentang persekolahan. Ia secara keras menentang lembaga-lembaga yang melestarikan diri sendiri yang memaksa orang untuk  mempelajari hal-hal tertentu dengan cara-cara tertentu dan di saat-saat tertentu. Bagi kaum utopis ini, pendidikan tidak bisa disamakan dengan persekolahan tradisional. Jangankan dengan persekolahan umum/negeri. Dan masyarakat yang baik tidak memerlukan pola-pola wajib belajar, atau proses belajar mengajar mata pelajaran yang diwajibkan.
Jika maksud  atau niat  penting artinya untuk  mengenali berbagai cabang anarkisme pendidikan, namun niat semacam itu seringkali sulit  dikenali. Apa yang menjadi tujuan-tujuan yang melatarbelakangi kebanyakan pemikiran anarkis pendidikan sulit ditentukan adalah karena mereka lebih terang dalam hal menghapus (menegasikan) ketimbang dalam hal meneguhkan (mendukung/menyetujui). Diagnosis mereka mengenai apa yang salah dalam sistem persekolahan yang ada sekarang seringkali tepat dan menyakinkan, namun resep apa yang mereka sodorkan untuk  mengubahnya sering cenderung kabur dan tidak menjadikan orang terbujuk. Ini menyebabkan munculnya kesulitan dalam menentukan apakah kita berhadapan dengan seorang anarkis yang menganggap bahwa penghapusan sekolah adalah sebuah jalan untuk  menjungkirbalikkan sistem sosial yang ada demi menaikkan sebuah sosialisme yang lebih berkemanusiaan, ataukah ia menganggap bahwa penghapusan sekolah adalah sebuah cara melenyapkan kekangan-kekangan politis tradisional serta mendirikan sebuah masyarakat yang sama sekali baru yang didasari individualism kolektif.
Anarkisme dalam sebuah pendidikan
Tujuan utama pendidikan adalah untuk  membawa pembaharuan/perombakan berskala besar dan segera, di dalam masyarakat dengan cara menghilangkan persekolahan wajib.
(+) Tujuan-tujuan sekolah
Sistem persekolahan formal yang ada sekarang dihapuskan sepenuhnya dan digantikan dengan sebuah pola belajar sukarela serta mengarahkan diri sendiri, akses yang bebas dan universal ke bahan-bahan pendidikan serta kesempatan-kesempatan belajar mesti disediakan namun tanpa sistem pengajaran wajib.
(+) Ciri-ciri umum anarkisme pendidikan
Menganggap bahwa pengetahuan adalah sebuah keluaran sampingan (by product) alamiah dari kehidupan sehari-hari.
Menganggap kepribadian individual sebagai sebuah nilai yang melampaui tuntutan-tuntutan masyarakat manapun.
Menekankan pilihan bebas dan penentuan nasib sendiri dalam sebuah latar belakang sosial yang waras dan humanistic (berorientasi pada pribadi).
Menganggap  pendidikan sebagai sebuah fungsi alamiah dari kehidupan sehari-hari di dalam lingkungan sosial yang  rasional dan produktif
Memusatkan perhatian kepada perkembangan sebuah masyarakat pendidikan yang melenyapkan atau secara radikal menimimalisir keperluan akan  adanya sekolah-sekolah formal, juga seluruh kekangan terlembaga lainnya atas  perilaku personal. Menekankan masa depan paska-kesejarahan dimana orang akan mampu berfungsi sebagai makhluk-makhluk bermoral yang mengatur diri sendiri.
Menekankan perubahan berkelanjutan serta pembaharuan diri didalam sebuah masyarakat yang secara tetap lahir kembali, menekankan kebutuhan untuk  meminimkan dan/atau mengenyahkan kekangan-kekangan terlembaga atas perilaku personal.
Didasarkan pada sebuah sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional) dan atau berlandaskan prakiraan-prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan semacam itu.
Berdiri di atas prakiraan-prakiraan anarkis  atau semu anarkistis mengenai bisa disempurnakannya moral manusia dibawah kondisi-kondisi yang paling puncak.
Menganggap bahwa wewenang intelektual secara tepat ada ditangan mereka yang secara tepat telah mendiagnosis konflik dasar yang ada antara keperluan-keperluan individual dengan tuntutan-tuntutan negara.
(+) Anak sebagai pelajar
Anak-anak cenderung menjadi baik (yakni, menginginkan tindakan yang efektif dan tercerahkan) ketika anak-anak itu diasuh dalam sebuah masyarakat yang baik (yakni yang rasional dan berkemanusiaan).
Perbedaan-perbedaan antar individu bergerak menentang kebijaksanaan meresepkan pengalaman-pengalaman pendidikan yang sama atau serupa bagi setiap orang.
Anak-anak secara moral setara, dan mereka mesti mendapatkan kesempatan-kesempatan untuk  belajar apapun yang mereka pilih sendiri, demi  memperoleh tujuan apapun yang mereka anggap layak dikejar.
Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan diri yang bersifat sosial ini  menjadi landasan bagi seluruh penentuan ‘diri’ selanjutnya. Anak bebas hanya dalam konteks determinisme sosial dan psikologis. Masyarakat dan negara tidaklah sama artinya (tidak sinonim). Masyarakat adalah perlu bagi pemenuhan diri. Tetapi negara menghalangi perwujudan sepenuhnya masyarakat tersebut.
(+) Administrasi dan pengendalian
Wewenang pendidikan mesti dikembalikan kepada rakyat dengan mengizinkan setiap orang mengendalikan hakikat dan pelaksanaan perkembangan dirinya sendiri.
Tidak perlu ada wewenang khusus yang diberikan pada guru sebagai guru.
(+) Sifat-sifat kurikulum
Sekolah harus dihapuskan demi memperbesar pilihan personal yang bebas
Pendidikan tidak sama dengan persekolahan; satu-satunya kegiatan belajar yang sebenarnya hanyalah belajar yang ditentukan sendiri; dan ini hanya bisa berlangsung secara efektif di dalam sebuah masyarakat yang tanpa sekolah
Penekanan harus diletakkan pada pemungkinan tiap individu untuk  menentukan tujuan-tujuan belajar sendiri.
Di dalam tuntutan-tuntutan yang dikenakan oleh sistem keberadaan sosial manapun (yang mengisyaratkan perlunya pengalaman-pengalaman sosial tertentu dan dengan demikian juga kegiatan belajar bersama/umum), seluruh kegiatan belajar harus ditentukan sendiri oleh yang belajar.
Penekanan harus diletakkan pada apa yang relevan personal dengan mengorbankan pembedaan tradisional antara apa yang akademis, yang intelektual dan yang praktis,
Penekanan harus diletakkan pada apa yang relevan secara personal dengan mengorbankan pembedaan tradisional antara apa yang akademis, yang intelektual, dan yang praktis.
Setiap orang harus bebas untuk  menentukan hakikat dan sejauh mana ia akan belajar.
(+) Metode-metode pengajaran dan penilaian hasil belajar
Siswa secara individual mesti menjadi penentu metode-metode pengajaran mana yang paling sesuai dengan tujuan-tujuan dan rancangan-rancangan pendidikannya sendiri.
Nilai disiplin dan hapalan serta lain-lainnya yang berkaitan dengan itu harus dibiarkan menjadi rahasia orang yang belajar itu sendiri; mereka yang menghendaki pendekatan-pendekatan direktif atau otoritarian terhadap kegiatan belajar mesti bebas untuk  memilh pendekatan seperti itu dengan dasar individual.
Peran-peran tradisional guru dan siswa yang diterapkan oleh lembaga harus dihapuskan.
Guru adalah sebuah aspek yang bisa dihapus/dibuang (atau paling banter, menjadi sebuah pilihan saja), dari proses pendidikan
Penilaian/evaluasi yang terbaik adalah penilaian diri sendiri, yang harus difungsikan hampir secara ekslusif untuk  tujuan persaingan diri
Secara alamiah manusia bersifat sosial dan maju bekerjasama. Dan sejalan dengan itu, kegiatan belajar harus menekankan kerjasama serta meminimalkan persaingan antarpribadi demi ganjaran-ganjaran. Lantaran individu secara alamiah bersifat menwujudkan diri, maka ia secara intrinsic memiliki persaingan diri, serta tidak memerlukan dorongan dari luar untuk  belajar.
Pembedaan tradisional antara yang kognitif, afektif dan interpersonal adalah pembeda palsu/artifisal dan tidak produktif dalam memandang proses belajar yang sebenarnya bersifat total  serta organis.
Bisa dikatakan bahwa seluruh lembaga sosial yang berkelanjutan dan melestarikan diri sendiri harus dimusnahkan seluruhnya
Bimbingan dan penyuluhan individual, serta terapi kejiwaan, sebagaimana itu dilaksanakan melalui sekolah-sekolah, hanyalah satu bagian dari sistem pembatasan sosial yang dalam kenyataan menyebabkan timbulnya berbagai problema kejiwaan yang mereka pura-pura sembuhkan.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Jadi, didasarkan suatu pendidikan harus dipandang dengan adanya keterkaitan masyarakat yang sangat penting, bagi kaum anarkis. Individu merupakan bagian masyarakat yang dimana psikologis atau development karena individu ditentukan pada intinya di bawah oleh keanggotaan sosial.
Saran
Didalam melakukan suatu pendidikan, jangan menganggap sesuatu yang mudah tidak penting. Karena bagian masyarakat berperan penting masalah pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Cohn-Bendit, Daniel, dan Gabriel, Cohn Bendit, Obsolette Comunism; the Left Wing Alternative, terjemahan Arnold Pomerans, New York: McGraw-Hill Book co. 1968.
Goodman, Paul, Compulsory Mis-education, New York; Vintage Books, 1966.
Holt John, Freedom and Beyond, New York; E.P. Dutton, 1972.

Illich, Ivan dkk, After Schooling, What?, Suntingan Allen Gartner, Colin Greer, dan Frank Riesman, New York: Harper & Row, 1973.

0 komentar:

Posting Komentar

My Visitors

free counters

About Me

Foto Saya
ningrum tania widayu
student of gunadarma university'11 15111184|1ka23|sistem informasi
Lihat profil lengkapku