ANALISA
PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang
dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai
berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai
bahasa kerja.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa
Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai
adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19.
Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa
kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak
awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme
bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan
berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan
di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan
bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui
penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih
dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan
penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748
bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap
kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan
dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, bahasa Indonesia
digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat
lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga
dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Perkembangan Bahasa Indonesia Secara
Kronologis
Perkembangan Bahasa merupakan suatu peristiwa
bersejarah. Perkembangan bahasa adalah akibat atau hasil yang ditimbulkan oleh
adanya kegiatan pengembangan. Pada umumnya perkembangan bahasa tersebut
diwujudkan dengan perubahan-perubahan bahasa itu. Dalam modul ini akan
diperbincangkan perkembangan bahasa Indonesia sejak terbentuknya hingga
sekarang serta perkembangan penyerapan kata dan istilah asing dalam pembinaan
dan pengembangan bahasa Indonesia.
Anda
tentu sudah mengetahui bahwa bahasa Indonesia yang kita pakai sekarang ini
berasal dari bahasa Melayu. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan
bahasa Melayu di dalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi
sebagai bahasa penghubung (lingua franca). Dari waktu ke waktu terjadilah
perubahan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan
yang pada akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia
merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat. Beratus-ratus tahun bahasa
Melayu, sebagai dasar bahasa Indonesia, berfungsi sebagai lingua franca di
Nusantara. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan bahasa Melayu
didalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi sebagai bahasa
penghubung (lingua franca).
Dari waktu ke waktu terjadilah perubahan
sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang pada
akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia
merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat. Oleh sebab itu, pada saat
bangsa kita memerlukan sebuah bahasa nasional yang dapat dijadikan alat
komunikasi secara nasional, penunjukan bahasa Melayu disetujui secara aklamasi.
Bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minangkabau, atau bahasa Batak yang jumlah
pendukungnya jauh lebih besar daripada jumlah pendukung bahasa Melayu, dengan
rela dan senang hati menerima putusan itu. Maka, pada tanggal 28 Oktober 1928
dicetuskanlah kedudukan bahasa Indonesia itu dalam suatu ikrar pemuda Indonesia
yamg kita kenal dengan “Sumpah Pemuda” pada butir ketiga.
Secara lengkap dan ejaan yang asli butir-butir
“Sumpah Pemuda” itu dapat Anda simak berikut ini.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe
bertoempah darah jang satoe, tanah
Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe
berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia.
Butir
ketiga dalam Sumpah Pemuda itu menjadi ketukan palu berubahnya bahasa Indonesia
sebagai lingua franca kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Perkembangan bahasa Melayu yang berubah menjadi bahasa Indonesia didasarkan
pada segi politik dan ekonomi. Bahasa
yang dapat diangkat menjadi bahasa nasional adalah bahasa yang berfungsi di
dalam dunia politik dan ekonomi. Bahkan, ketentuan itu dikuatkan lagi oleh
kemampuan bahasa tersebut mengungkapkan nilai-nilai budaya dan sastra. Hal itu
terlihat pada lahirnya berbagai karya sastra jauh sebelum tanggal 28 Oktober
1928, seperti novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, dan novel Azab dan
Sengsara (1918) karya Merari Siregar. Bahasa itu pula yang dipakai oleh Balai
Pustaka sebagai satu-satunya penerbit pemerintah di Indonesia pada awal abad XX
ini.
PERKEMBANGAN EJAAN
Secara lengkap dapat dikatakan bahwa “ejaan”
adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran dan
bagaimana antarhubungan di antara lambang-lambang itu (pemisah dan penggabungan
dalam suatu bahasa). Secara teknis, ejaan adalah aturan tulis-menulis dalam
suatu bahasa yang berhubungan dengan penulisan huruf, pemakaian huruf,
penulisan kata, penulisan unsur serapan, serta penulisan dan pemakaian tanda
baca.
Pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut;
Apakah bahasa Indonesia sudah memiliki aksara sebelum diresmikan menjadi bahasa
persatuan? Jawabnya adalah bahwa bahasa Melayu sudah memiliki aksara sejak
beratus tahun yang lalu, yaitu aksara Arab-Melayu.
Aksara Arab-Melayu dipakai secara umum di
daerah Melayu dan daerah-daerah yang telah menggunakan bahasa Melayu. Akan
tetapi, terjadi kontak budaya dengan dunia Barat, sebagai akibat kedatangan
orang Barat dalam menjajah di daerah Melayu itu, di sekolah-sekolah Melayu
sudah digunakan aksara Latin yang penggunaannya tidak terpimpin.
Oleh sebab itu, Ch. A. Van Ophuijsen (seorang
ahli bahasa dari Belanda) dibantu oleh dua orang pakar dari Melayu, yaitu
Engkoe Nawawi gelar Soetan Ma’moer, dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim,
menggabungkan dasar-dasar ejaan Latin dan ejaan Belanda, sehingga berhasil
membuat ejaan bahasa Melayu, yang ejaan tersebut lazim disebut sebagai Ejaan
Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan pemakaiannya pada tahun 1901.
Pada tahun 1926, menjelang Sumpah Pemuda,
ejaan Van Ophuijsen mengalami revisi dengan tanpa perubahan yang berarti. Pada
tahun 1947 muncullah ejaan yang baru sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen.
Ejaan tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Dr. Soewandi, pada tanggal 19 Maret 1947 yang disebut
sebagai Ejaan Republik. Oleh karena Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
adalah Dr. Soewandi, ejaan yang diresmikan itu disebut juga Ejaan Soewandi.
Memang peresmian ejaan tersebut dilakukan pada tahun 1947, tetapi pekerjaan
penyusunan ejaan tersebut sudah disempurnakan sejak pendudukan Jepang di
Indonesia.
Hal-hal yang menonjol dalam Ejaan Soewandi itu
adalah sebagai berikut:
Huruf /oe/ diganti dengan /u/, seperti dalam
kata berikut;
goeroe guru
itoe itu
oemoer umur
2.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan /k/, seperti dalam kata
berikut;
tida’ tidak
Pa’ Pak
ma’lum maklum
ra’yat rakyat
3.
Angka dua (2) boleh dipakai untuk menyatakan pengulangan, seperti kata
berikut;
beramai-ramai be-ramai2
anak-anak anak2
berlari-larian ber-lari2-an
berjalan-jalan ber-jalan2
4.
Awalan di- dan kata depan di, kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata
yang mengikutinya, seprti kata berikut;
diluar, dikebun, ditulis, ditempuh
diantara, disimpan, dipimpin, dipinggir,
dimuka,ditimpa, disini, dijemput.
5.
Tanda trema tidak dipakai lagi sehingga tidak ada perbedaan antara suku
kata dan diftong, seperti kata berikut.
didjoempai didjumpai
dihargai dihargai
moelai mulai
6.
Tanda aksen pada huruf e tidak dipakai lagi, seperti pada kata berikut.
ekor ekor
heran heran
merah merah
berbeda berbeda
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan
Melayu (Slamet Mulyana dan Syeh Nasir bin Ismail, masing-masing berperanan
sebagai ketua perutusan) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian
dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Ejaan Melindo tidak
pernah diresmikan karena politik yang terjadi
pada kedua negara itu tidak memungkinkan untuk meresmikan ejaan tersebut.
Berbagai perencanaan yang dilakukan
dalam ejaan Melindo berkisar pada penyamaan lambang ujaran antara kedua
negara dan perlambangan setiap bunyi ujaran untuk satu lambang. Oleh sebab itu,
muncullah beberbagai gagasan yang sebagaian gagasan tersebut dituangkan dalam
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Pada tanggal 16 agustus 1972 Presiden Republik
Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang
lazim disingkat dalam istilah EYD. Peresmian ejaan tersebut berdasarkan
keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972. Dengan dasar itu, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan yang memuat berbagai patokan pemakaian ejaan yang
baru. Buku yang beredar yang memuat kaidah-kaidah ejaan tersebut direvisi dan
dilengkapi oleh suatu badan yang berada di bawah departemen Pendidikan
Kebudayaan yang diketuai olaeh Prof. Dr. Amran Halim dengan dasar surat
keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober1972, Nomor
156/P/1972. Hasil kerja komisi tersebut adalah berupa sebuah buku yang berjudul
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang diberlakukan dengan
surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0196/1975. Bersama buku
tersebut lahir pula sebuah buku yang berfungsi sebagai pendukung buku yang
pertama, yaitu buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan
dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu adalah sebagai berikut :
1. Huruf yang berubah fungsi adalah sebagai
berikut ;
a.
/dj/ djalan menjadi /j/ jalan
b.
/j/ pajung menjadi /y/ payung
c.
/nj/ njanji menjadi /y/ nyanyi
d.
/sj/ isjarat menjadi /sy/ syarat
e.
/tj/ tjukup menjadi /c/ cukup
f.
/ch/ achir menjadi /kh/ akhir
2. Huruf yang resmi pemakaiannya yang dalam
ejaan sebelumnya belum resmi
pemakaiannya seperti berikut ;
a.
pemakaian huruf /f/ dalam kata maaf, fakir
b.
pemakaian heruf /v/ dalam kata universitas, valuta
c.
pemakaian huruf /z/ dalam kata lezat, zeni
3.
Huruf yang hanya dipakai dalam ilmu eksakta, yaitu sebagai berikut ;
a.
pemakaian huruf /q/ dalam rumus a:b = p:q
b.
pemakaian huruf /x/ dalam istilah Sinar-X
4. Penulisan di- awalan dan penulisan di kata
depan seperti berikut ;
a.
penulisan awalan pada kata ditulis, dimakan, dijumpai
b.
penulisan kata depan pada kata di muka, di pojok, di antara
5. Bentuk ulang yang tidak ditulis dengan
angka dua (2) seperti berikut ;
Berpandang-pandangan, berlari-lari, rumah-rumah.
BALAI
PUSTAKA
Balai Pustaka (Ejaan Van Ophuijsen: Balai
Poestaka, bahasa Jawa ejaan lama: Balé Poestaka) adalah sebuah perusahaan
penerbitan danpercetakan milik negara. Balai Pustaka didirikan dengan nama
Commissie voor de Volkslectuur (bahasa Belanda: "Komisi untuk Bacaan
Rakyat") oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 14 September 1908.
Commissie voor de Volkslectuur kemudian berubah menjadi "Balai Poestaka"
pada tanggal 22 September 1917. Balai Pustaka menerbitkan kira-kira 350 judul
buku per tahun yang meliputi kamus, buku referensi, keterampilan, sastra,
sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.
Menurut Menteri BUMN, Mustafa Abubakar, Balai
Pustaka kini terancam bangkrut dan akan dilikuidasi karena terus mengalami
kerugian.
Kios Balai Poestaka di Purwokerto pada masa
Hindia-Belanda
Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk
mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia-Belanda. Bahasa-bahasa ini
adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura.
Ada visi alternatif yang menyebutkan bahwa
pendiriannya kala itu konon untuk mengantisipasi tingginya gejolak perjuangan
bangsa Indonesia yang hanya bisa disalurkan lewat karya-karya tulisan. Berbagai
tulisan masyarakat anti-Belanda bermunculan di koran-koran daerah skala kecil,
sehingga perusahaan penerbitan ini lalu didirikan Belanda dengan tujuan utama
untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media
tulisan dan menyalurkan nya secara lebih manusiawi sehingga tidak bertentangan
dengan kepentingan Belanda di Indonesia.
Tujuan lain yang dilakukan oleh Komisi Bacaan
Rakyat (KBR) yaitu menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini juga
bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di
negaranya sendiri.
Tidak semua usaha yang dilakukan oleh (BKR)
negatif. usaha usaha yang positif antara lain: mengadakan perpustakaan di
tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara
teratur, memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan
taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam
bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam bahasa
Sunda.
Langkah maju yang dilakukan KBR, yang telah
berhasil sebagai pencetak, penerbit, dan penjual majalah, adalah mengubah KBR
menjadi Yayasan Resmi Balai Pustaka pada tahun 1917.
Buku Balé Poestaka (Supraba lan Suminten,
1923)
Salah satu novel dalam bahasa Melayu terbitan
Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul Siti Noerbaja karangan Marah
Roesli, seorang penulis dari Minangkabau.
Di era itu juga menjadi penanda penyebaran
sastra Jawa Modern. Jumlah buku berbahasa Jawa lebih banyak dibandingkan yang
berbahasa Melayu. Dari penelusuran George Quinn, pada katalog Balai Pustaka di
1920, ada 40 buku berbahasa Madura, 80 judul berbahasa Melayu, hampir 100 buku
berbahasa Sunda, dan hampir 200 berbahasa Jawa. Pada tahun ini pula lahir novel
Serat Rijantokarangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa
modern.
TAMAN
BACAAN MASYARAKAT
Yogyakarta (30/08) Taman Bacaan Masyarakat
(TBM) adalah lembaga pembudayaan kegemaran membaca masyarakat yang menyediakan
bahan bacaan, berupa: buku, majalah, tabloid, koran, komik, dan bahan multi
media lain, yang dilengkapi dengan adanya ruangan untuk membaca, diskusi, bedah
buku, menulis, dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya, dan didukung oleh
pengelola yang berperan sebagai motivator.
Penyelenggaraan TBM dimaksudkan untuk menyediakan
bahan bacaan dalam rangka untuk membantu dan memberikan layanan kepada
masyarakat sesuai dengan (1) kebutuhan, (2) kemampuan keaksaraan, dan (3)
keterampilan membaca masyarakat merata, meluas, terjangkau dan mudah diakses
oleh masyarakat dengan murah. Adapun tujuannya adalah:
menumbuhkembangkan minat dan kegemaran membaca
masyarakat,
mendukung pembudayaan kegemaran membaca,
mendorong terwujudnya masyarakat pembelajar
sepanjang hayat.
mewujudkan kualitas dan kemandirian masyarakat
yang berpengetahuan, berketerampilan, berbudaya maju, dan beradab.
Fungsi yang melekat pada TBM adalah sebagai;
(1) sumber belajar, (2) sumber informasi, dan (3) sarana rekreasi-edukasi.
Sebagai Sumber Belajar, TBM dengan bahan bacaan yang disediakan dapat
memberikan layanan kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas membaca dan
belajar dalam rangka mendukung terciptanya masyarakat pembelajar sepanjang
hayat, seperti: buku pengetahuan untuk membuka wawasan dan menambah
pengetahuan, buku keterampilan, untuk memperoleh berbagai keterampilan praktis
yang bisa dipraktekkan setelah membaca misal praktek memasak, budidaya ikan,
menanam cabe dan lainnya.
Sebagai sumber informasi, dalam menyediakan
bahan bacaan, selain buku-buku TBM juga menyediakan koran, tabloid, dan
referensi, seperti brosur, leaflet yang semuanya ini dapat memberikan
informasi. Disamping itu dengan peralatan elektroniknya TBM dapat juga
menyediakan internet yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengakses
informasi melalui dunia maya.
Sebagai tempat rekreasi-edukasi, dengan
buku-buku nonfiksi yang disediakan memberikan hiburan yang mendidik dan
menyenangkan. Lebih jauh dari itu, TBM dengan bahan bacaan yang disediakan
mampu membawa masyarakat lebih dewasa dalam berperilaku, bergaul di masyarakat
lingkugan.
Dari pengertian TBM disebutkan bahwa pengelola
TBM berperan sebagai motivator, artinya pengelola TBM diharapkan mampu
mendorong masyarakat dan khususnya pengunjung untuk mau dan mampu meningkatkan
keterampilan membaca dengan kreativitasnya memberikan layanan. Layanan yang
dapat diberikan TBM adalah:
Membaca ditempat, agar pengunjung mau dan
gemar membaca di TBM maka bahan bacaan yang disediakan hendaknya disesuaikan
dengan kebutuhan pengunjung. Dengan menemukenali minat dan karakteristik
pengunjung dapat menentukan bahan bacaan yang tepat.
Meminjamkan buku, artinya buku dapat dibawa
pulang untuk dibaca dirumah dalam waktu tertentu dan peminjam wajib
mengembalikan tepat waktu.
Pembelajaran, dengan menggunakan berbagai
pendekatan, misalnya:
membacakan buku dan/atau mendongeng untuk anak
usia dini,membimbing belajar membaca, menulis, berhitung, dan
berkomunikasi,belajar sambil praktek keterampilan atau melaksanakan kegiatan
yang menyenangkan dan bermanfaat,membimbing teknik membaca cepat (scanning dan
skimming),
menemukan kalimat dan kata kunci dari
bacaan,lomba menceriterakan kembali buku yang telah dibaca, membedahnya dan
mengenal bagaimana memproduksi buku, bagaimana menjadi pembaca dan penulis kreatif.
EJAAN
SOEWANDI DAN EYD.
Dari Ejaan van Ophuijsen Hingga EYD
1. Ejaan van Ophuijsen
Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan
huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut
dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah
sebagai berikut.
a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang,
pajah, sajang.
b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe,
itoe, oemoer.
c. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda
trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.
2. Ejaan Soewandi
Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi
diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat
diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan
pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.
a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada
guru, itu, umur.
b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis
dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2,
seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya
ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada
dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
3. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik
Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu
berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia
Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang
dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal
12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah
ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan
surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut
direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972) |
Malaysia
(pra-1972) |
Sejak 1972
|
Tj
|
ch
|
C
|
Dj
|
J
|
J
|
Ch
|
kh
|
Kh
|
Nj
|
ny
|
Ny
|
Sj
|
sh
|
Sy
|
J
|
Y
|
Y
|
oe*
|
U
|
U
|
|
|